REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kementerian Agama (Kemenag) baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 73 tahun 2022, tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Ahli hukum Universitas Airlangga (Unair) Dwi Rahayu Kristianti menilai, kebijakan tersebut sangat mendesak untuk dijadikan pijakan hukum.
Melihat belakangan ini banyak kasus kekerasan seksual terjadi di lingkup instansi agama, seperti di pesantren dan madrasah. "Kemenag perlu mengatur yurisdiksi yang sama dalam lingkup satuan pendidik di bawahnya, sebagai payung hukum yang membijaki,” kata Dwi Rahayu, Kamis (27/10/2022).
Dwi mengatakan, di kalangan sivitas akademika, kasus kekerasan seksual menjadi perhatian yang penting. Biasanya kasus tersebut terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa. Dimana pelaku punya andil kuasa yang lebih tinggi dan memberikan sebuah ancaman kepada korban.
Ada juga kasus kekerasan seksual yang terjadi pada internal kampus. Bahkan tak jarang pihak kampus menutupi kasus tersebut demi menjaga citra kampus dan berlindung di balik kata menyelesaikan dengan cara kekeluargaan. Padahal, kata dia, problem teraebut mengakibatkan ketidakberpihakan pada korban.
Dwi pun menanggapi polemik di tengah masyarakat Indonesia yang menyepelekan diksi 'menatap' dalam aturan yang baru diterbitkan. Menatap di sini, kata Dwi, perlu digarisbawahi, yaitu menatap seseorang dengan nuansa seksual dan menimbulkan rasa risih.
“Dampak yang ditimbulkan dari korban pun juga bukan perkara yang mudah. Banyak dari korban menarik diri dari lingkungan sosialnya, hingga terganggu psikis korban dalam menjalani aktivitas sehari-hari,” ujarnya.
Ia pun berharap, peraturan baru dari Kemenag bisa diterapkan secara efektif di lingkungan pendidikan agama. "Di lain sisi Permendikbud Ristek (tentang pelecehan seksual) juga harus kita dukung dan apresiasi secara nasional,” kata Dwi.