Rabu 02 Nov 2022 21:24 WIB

Koalisi Partai Incar Efek Ekor Jas dan Restu Istana di Pilpres 2024

Semua partai ingin menang bukan sekedar menjadi penggembira dalam Pilpres.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Karta Raharja Ucu
Anies Baswedan, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Majelis Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh duduk bersama di satu meja dalam pernikahan anak dari Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Salim Segaf Aljufri.
Foto: dok. istimewa
Anies Baswedan, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Majelis Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh duduk bersama di satu meja dalam pernikahan anak dari Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Salim Segaf Aljufri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinamika Koalisi Pilpres yang kini mengemuka suka atau tidak mesti diakui lebih dipengaruhi oleh pergerakan elektabilitas figur selain faktor presidential threshold. Selain mengejar efek ekor jas (coat tail effect), partai-partai yang duduk dalam koalisi pemerintahan saat ini juga berupaya melekatkan restu istana.

Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS), Agung Baskoro mengatakan hal ini disebabkan semua partai ingin menang bukan sekedar menjadi penggembira dalam Pilpres. Di titik inilah kemampuan partai beradaptasi dalam situasi politik yang sedemikian kompetitif diuji.

"Karena selain nalar eksternal berupa elektabilitas, terdapat logika elite yang berpusat pada loyalitas kader kepada ketua umumnya atau relasi capres-cawapres dengan Presiden Jokowi yang kini ditempatkan sebagai salah satu King Maker dalam Pilpres 2024," ujar Agung, Selasa (1/11/2022).

Menurut Agung, mengoptimalkan restu Presiden Jokowi sangat penting di kondisi Pemilu 2024 mendatang. Seperti yang dilakukan Prabowo, yang selalu melakukan afirmasi dengan pernyataan konsisten memuji kerja Presiden Jokowi di berbagai forum.

Belakangan, hal itu juga dilakukan PKB, dengan bertandang ke Istana pada Senin (31/10/2022) kemarin, untuk menyerahkan rekomendasi acara Road to Win 2024 yang telah digelar. Hubungan saling menguntungkan ini menjadi penting baik bagi Presiden Jokowi dan KIR, karena petahana butuh kepastian program-programnya dilanjutkan.

Sementara di sisi penerusnya, Ia butuh kepastian bisa berlaga di Pilpres dalam bentuk jaminan sekuritas politik maupun sumber daya lainnya. Karena itulah, Agung menilai sementara ini, menempatkan Prabowo Subianto sebagai capres unggulan. Karena mampu menyeimbangkan nalar elektabilitas dan logika elite tadi.

photo
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) bersama Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (kanan). (ANTARA/M Risyal Hidayat)

Prabowo telah memiliki tiket Pilpres dari Gerindra dan ditegaskan kembali dalam agenda “Road to Win 2024” PKB Sabtu kemarin (30/10). Kemudian lewat sambutan ketua umum (Ketum) Muhaimin Iskandar (Cak Imin), semakin diperkuat, yang kini menjadi mitra koalisi pra-pilpres.

Koalisi Indonesia Raya (KIR) walaupun belum meresmikan paket capres-cawapresnya, namun nama Prabowo-Cak Imin mengemuka. Agung menyebut, kemungkinan Prabowo-Cak Imin lah yang disodorkan oleh KIR, bila tak ada aral melintang. Karena keduanya merupakan Ketum partai, pemilik hak prerogatif untuk memutuskan siapa capres-cawapres dari Gerindra dan PKB.

"Namun pertanyaan mendasar mengemuka, Apakah pasangan ini bisa menang dalam Pilpres?," ujarnya.

Pada bagian lain, munculnya nama Anies Baswedan (Anies) yang diusung oleh Koalisi Perubahan Indonesia (KPI) memberi warna dalam dinamika koalisi hari ini. Selain mengirim pesan kebaruan, menimbang Prabowo telah berulangkali maju Pilpres, juga dimensi oposisi yang kuat, karena baik Demokrat dan PKS sebagai rekan koalisi Nasdem, konsisten berada di luar pemerintahan sejak 2014.

"Sayangnya, pekerjaan rumah KPI masih lebih banyak dibanding KIR, karena masing-masing partai pengusung, baik Demokrat, Nasdem, dan PKS sudah punya nama cawapres, sementara Anies sebagai capres juga sudah punya tiga kriteria untuk calon pendampingnya," ujarnya.

Sebagaimana disampaikan Anies, kriteria cawapresnya yakni, pertama harus memiliki daya ungkit elektoral, kedua harus mempunyai kemampuan menyolidkan koalisi dan ketiga, bisa mengelola pemerintahan. Namun sampai di tahap ini publik masih menanti sosok cawapres Anies tersebut.

Termasuk juga, Agung mengatakan, kapan KPI meresmikan Anies terlebih dahulu sebagai bakal capres seperti Nasdem. Dimana hal itu juga sudah dilakukan oleh KIR mengirim sinyal kuat mendukung Prabowo, sebelum memutus nama cawapres.

"Jangan sampai KPI hanya sebatas ‘tempat nongkrong’ atau layu sebelum berkembang ketika koalisi lain sedang di puncak performa menyambut Pilpres, karena terlalu asik berdialektika atas dasar equal patnership," ujar Agung.

photo
Dua politikus PDIP Puan Maharani dan Ganjar Pranowo. (Republika/Fitriyanto)

Sementara itu, dalam konteks Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang digagas oleh Golkar, PAN, dan PPP, Agung melihat, situasinya jauh lebih pelik dihadapi. Karena selain belum mengerucutkan nama capres-cawapres, ada kesan menunggu sikap PDIP terkait siapa calon yang diusung di antara Puan dan Ganjar.

Padahal di sisi KIB yang menempatkan Golkar sebagai koordinator poros, karena memiliki elektabilitas tertinggi dibanding anggota koalisi lainnya. Dan Golkar sudah punya Airlangga Hartarto yang notabene Ketum Golkar yang resmi didaulat sebagai capresnya.

Walaupun harus diakui, temuan di survei-survei kredibel menunjukkan elektabilitas Airlangga belum mumpuni sebagai capres. Namun paling tidak minimal tiket cawapres telah digenggam, agar marwah Golkar sebagai partai besar di KIB terjaga sekaligus coat tail effect yang diharap bisa turut mendongkrak suara lewat pencawapresan ketumnya.

"Balik ke hal fundamental, sampai kapan KIB ‘tersandera’, padahal PDIP yang sudah lebih pasti bisa mengusung capres-cawapres sendiri?. Maka dari situasi kualitatif politik di antara koalisi yang ada, maka KIR untuk sementara ini lebih unggul dibanding KPI, KIB," paparnya.

Bahkan bila PDIP ditempatkan mandiri sebagai koalisi, Agung menilai masih unggul sementara koalisi Prabowo-Cak Imin. karena mampu menyeimbangkan nalar elektabilitas dari publik dan kepastian tiket untuk masuk ke arena Pilpres.

Dan semakin membesar menang Pilpres, bila KIR bisa memastikan tiga hal. Pertama, memilih pendamping atau cawapres Prabowo yang memiliki magnet elektoral, di luar nama Cak Imin yang makin mengkristal dan mampu merepresentasikan NU secara solid bukan ‘sekedar mendadak NU’.

"Deretan nama seperti Khofifah Indar Parawansa, Mahfud MD, hingga Gus Yahya patut untuk dipertimbangkan," imbuhnya.

Kedua, mempersiapkan strategi kampanye, termasuk visi, misi, program, dan inovasinya untuk merebut hati irisan antara pemilih milenial (Gen Y) dan Gen Z. Sebab berdasar Sensus BPS 2020 dua generasi pemilih ini merepresentasikan lebih dari separuh pemilih di 2024.

Hal-hal konkrit soal pengentasan kemiskinan, perluasan lapangan kerja, dan peningkatan hak-hak dasar, soal pelayanan publik, kesehatan, dan pendidikan perlu diberi prioritas. Terutama di tengah ketidakpastian ekonomi yang akan terus mengemuka di masa-masa mendatang.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement