Sabtu 05 Nov 2022 11:11 WIB

Kenaikan CHT Dinilai akan Beratkan Petani

Kebijakan kenaikan CHT dikritik.

Misbakhun
Foto: Istimewa
Misbakhun

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengkritik kebijakan pemerintah tentang kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10 persen yang akan berlaku pada 2023 dan 2024. Legislator Partai Golkar itu menyebut kebijakan yang diumumkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani tersebut merupakan keputusan sepihak yang akan memukul petani tembakau. 

“Kenaikan cukai ini adalah bukti bahwa Menteri Keuangan tidak berpihak pada kehidupan petani tembakau dan tidak pernah memedulikan jeritan aspirasi petani tembakau maupun buruh IHT (industri hasil tembakau, red),” ujar Misbakhun di Jakarta, dalam keterangan persnya  Jumat (4/11/2022).

Baca Juga

Misbakhun menilai kebijakan Menkeu Sri Mulyani tentang kenaikan CHT dalam tiga tahun terakhir ini begitu eksesif. Misbakhun memerinci CHT pada 2020 naik 23 persen.

Selanjutnya, CHT kembali naik 12,5 persen pada 2021. Adapun kenaikan CHT pada 2022 sebesar 12 persen. Menurut Misbakhun, kenaikan CHT sebesar 10 persen saja menjadi pukulan telak bagi petani tembakau.

“Sudah empat tahun berturut turut keadaan petani tembakau tidak baik-baik saja, bahkan terpuruk karena mereka harus menghadapi harga hasil panen yang anjlok dan penyerapan di pasar yang lambat,” tuturnya.

Anggota DPR dari Daerah Pemilihan II Jawa Timur itu juga menyebut tingginya tarif CHT akan membuat perusahaan IHT mengurangi produksi. Menurut Misbakhun, hal itu akan berefek secara tidak langsung pada pengurangan pembelian bahan baku dari petani.

“Mohon dicatat bahwa 95 persen tembakau yang dihasilkan petani itu untuk bahan baku rokok. Jadi, salah satu penyebab kerontokan ekonomi petani tembakau selama lima tahun ini adalah dampak dari kenaikan cukai yang sangat tinggi,” katanya.

Selain itu, Misbakhun menilai langkah Menkeu menaikkan CHT saat ekonomi nasional masih terbebani efek pandemi bukanlah keputusan bijak. Saat ini, secara makro perekonomoan nasional sedang rentan karena kondisi ketidakpastian yang disebabkan reses global.

“Kondisi ini tentu berakibat pada tidak stabilnya daya beli termasuk terhadap produk tembakau. Kita juga belum benar-benar bisa keluar dari krisis akibat pandemi,” katanya.

Misbakhun pun menganggap pemerintah, khususnya Menkeu Sri Mulyani, melakukan fait accompli. Merujuk Pasal 5 Ayat (4) Undang-Undang No 39 Tahun 2007 tentang Cukai, Misbakhun menegaskan pemerintah seharusnya menyampaikan rencana kebijakan itu kepada DPR untuk memperoleh persetujuan. Mantan pegawai Direktorat Jendera Pajak Kemenkeu itu beralasan kebijakan tersebut merupakan bagian dari penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai daam RAPBN. 

Wakil rakyat asal Pasuruan, Jatim, itu juga mendasarkan argumennya pada keputusan rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR RI bersama pemerintah pada 26 September 2022 yang memberi mandat kepada Komisi XI DPR membahas kenaikan cukai dan ekstensifikasi cukai 2023 paling lama 60 hari setelah pengesahan RUU APBN 2023 menjadi UU APBN 2023 pada sidang paripurna DPR RI 29 September lalu. 

“Faktanya, pemerintah tidak melibatkan DPR dalam perumusan kenaikan tarif cukai itu. Bagi kami anggota DPR, ini adalah sebuah fait accompli pemerintah yang membuat keputusan sepihak,” ujar Misbakhun.

Oleh karena itu, Misbakhun memastikan Komisi XI akan memanggil Menkeu Sri Mulyani untuk menjelaskan kebijakan soal kenaikan CHT tersebut.“Komisi XI dengan kewenangannya akan mengagendakan rapat kerja dengan Menteri Keuangan untuk meminta keterangan perihal kenaikan tarif CHT tersebut,” katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement