Sabtu 05 Nov 2022 11:17 WIB

Stres Kronis Sebelum Terkena Covid-19 Bisa Sebabkan Long Covid

'Long covid' karena stres sebabkan kelelahan, kabut otak, hingga sulit tidur.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Nora Azizah
'Long covid' karena stres sebabkan kelelahan, kabut otak, hingga sulit tidur.
Foto: www.freepik.com.
'Long covid' karena stres sebabkan kelelahan, kabut otak, hingga sulit tidur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Stres kronis yang dialami seseorang sebelum terinfeksi Covid-19 bisa meningkatkan risiko long Covid. Kondisi long Covid terjadi saat seseorang sudah pulih dari Covid-19 namun masih mengalami gejalanya secara berkepanjangan.

Tidak dimungkiri bahwa stres adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Ada bentuk stres "baik" atau eustress yang penting untuk pertumbuhan, perkembangan, dan pencapaian. Lazimnya, stres jenis ini  bercampur dengan rasa gembira menghadapi tantangan.

Baca Juga

Ada pula stres berkepanjangan atau traumatis yang dapat berdampak negatif pada kesehatan. Ini dikenal sebagai stres "buruk" atau distress yang dapat memicu depresi dan gangguan kecemasan. Dalam jangka panjang, ini bisa meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, diabetes tipe dua, demensia, dan kanker.

Distress juga dapat memengaruhi kemampuan tubuh untuk pulih sepenuhnya dari Covid-19. Adapun gejala long Covid yang lazim dialami termasuk kelelahan, kabut otak, sesak napas, kehilangan fungsi indra perasa dan penciuman, serta sulit tidur.

Bagi sebagian orang, gejala long Covid dapat berlangsung selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Sebuah penelitian yang digagas tim dari Universitas Harvard mengungkap bahwa orang yang mengalami tekanan psikologis sebelum infeksi Covid-19 berpeluang lebih besar untuk mengalami long Covid.

Para peneliti menemukan bahwa pasien yang memiliki dua jenis distress (bisa berupa depresi, gangguan kecemasan, atau kesepian) memiliki risiko long Covid hampir 50 persen lebih besar daripada peserta lain. Artinya, stres dapat memengaruhi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi.

Hal tersebut ada kaitannya dengan peradangan, yaitu cara tubuh merespons infeksi atau cedera. Dalam jangka pendek, stres menyebabkan pelepasan hormon yang menekan peradangan, memastikan tubuh memiliki sumber energi yang cukup untuk merespons ancaman langsung.

Akan tetapi, ketika dialami dalam jangka waktu yang lama, stres itu sendiri dapat menyebabkan peradangan atau inflamasi tingkat rendah. Paparan berulang terhadap stres ringan yang tidak terduga sudah cukup untuk menimbulkan respons inflamasi.

Ketika terjadi peradangan, sistem kekebalan tubuh mengubah cara merespons dengan memprogram ulang sel-sel imunitas. Sistem kekebalan beralih ke "mode pengawasan rendah" yang tetap aktif di seluruh tubuh, tapi daya tanggapnya terhadap ancaman menurun.

Karena itu, responsnya mungkin lebih lambat dan kurang efektif. Akibatnya, proses pemulihan bisa memakan waktu lebih lama. Untuk virus seperti Covid-19, ada kemungkinan efek berupa penurunan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi dan meningkatkan risiko long Covid.

Lantaran virus berada di dalam sel manusia, sistem kekebalan yang beralih ke "mode pengawasan rendah" sebagai akibat dari tekanan psikologis dapat kehilangan peluang awal untuk menghancurkan jaringan yang terinfeksi. Virus kemudian dapat memperoleh keuntungan atas kondisi itu.

Upaya yang bisa dilakukan adalah mendapatkan vaksin Covid-19. Vaksin membantu melatih sistem kekebalan untuk menemukan target lebih cepat. Intervensi perilaku juga bisa dilakukan, yakni meningkatkan kemampuan untuk mengatasi stres.

Menerapkan gaya hidup sehat dapat dilakoni guna membantu mengurangi distress. Penanganan distress bisa pula dengan mengatur perilaku sehat seperti diet, olahraga, serta tidur cukup, dikutip dari laman Neuroscience News, Sabtu (5/11/2022).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement