REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Gedung Putih pada Senin (28/11/2022) mengatakan, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memantau aksi protes yang sedang berlangsung di China. Aksi protes ini dipicu oleh kemarahan publik atas kebijakan nol Covid-19 yang dicanangkan pemerintah, sehingga menyebabkan penguncian ketat berkepanjangan.
"Biden mengikuti apa yang terjadi. Dia memantau ini. Kita semua (memantaunya). Presiden tentunya tetap mewaspadai aktivitas protes. Para pengunjuk rasa ini berbicara untuk diri mereka sendiri. Apa yang kami lakukan adalah memperjelas bahwa kami mendukung hak protes damai," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby, dilaporkan Anadolu Agency, Selasa (29/11/2022).
Protes terhadap kebijakan "Zero Covid-19" di China dimulai pada Sabtu (26/11) di beberapa kota di seluruh negeri, termasuk di Shanghai. Polisi menggunakan semprotan merica untuk membubarkan ratusan pengunjuk rasa yang berkumpul di Middle Urumqi Road pada tengah malam.
South China Morning Post melaporkan, para pengunjuk rasa membawa bunga, lilin, dan tanda bertuliskan “Urumqi, 24 November, mereka yang meninggal beristirahat dengan damai”. Protes ini untuk mengenang mereka yang terbunuh dalam insiden kebakaran di Ibu Kota Xinjiang, Urumqi.
Setidaknya 10 orang tewas dan sembilan lainnya luka-luka ketika kebakaran terjadi di sebuah bangunan tempat tinggal di Urumqi. Kantor berita Xinhua melaporkan, wilayah itu berada di bawah penguncian Covid-19.
Banyak pihak yang mengeklaim bahwa pembatasan itu memperburuk kebakaran. Petugas darurat membutuhkan waktu tiga jam untuk memadamkan kobaran api. Pihak berwenang menolak klaim bahwa penguncian menyebabkan lambatnya penanganan kebakaran. Pihak berwenang mengatakan, tidak ada barikade di dalam gedung dan penduduk diizinkan keluar.
Pada Ahad dini hari, pengunjuk rasa berdiri di jalanan sekitar Urumqi sambil meneriakkan “(Presiden) Xi Jinping mundur! PKC (Partai Komunis China) mundur!". Seorang pengunjuk rasa mengkonfirmasi bahwa orang-orang berteriak menuntut mundurnya Xi Jinping. Tuntutan ini sebelumnya tidak pernah muncul dari masyarakat yang tinggal di salah satu kota terbesar China.
Ratusan pengunjuk rasa berkumpul di sepanjang jalan di Shanghai mulai sekitar tengah malam pada Sabtu (26/11/2022). Mereka terbagi menjadi dua bagian berbeda di Jalan Urumqi Tengah. Ada satu kelompok yang lebih tenang dan membawa lilin, bunga, dan tanda penghormatan kepada mereka yang tewas dalam kebakaran apartemen. Sementara kelompok lainnya meneriakkan slogan dan menyanyikan lagu kebangsaan.
“Semua orang mengira orang China takut untuk keluar dan menggelar protes, mereka mengira bahwa kami tidak punya keberanian,” kata seorang pengunjuk rasa yang berbicara dengan syarat anonim.
Pengunjuk rasa itu mengatakan, ini adalah pertama kalinya dia berdemonstrasi. “Sebenarnya dalam hati saya, saya juga memikirkan hal ini. Tetapi ketika saya pergi ke sana, saya menemukan bahwa lingkungannya sedemikian rupa sehingga setiap orang sangat berani," ujarnya.
Awalnya aksi protes berjalan damai. Namun sekitar jam 3 pagi, protes berubah menjadi kekerasan. Polisi mulai mengepung para pengunjuk rasa dan membubarkan kelompok pertama yang lebih aktif, sebelum pengunjuk rasa gelombang kedua datang. Seorang pengunjuk rasa yang hanya mengidentifikasi dirinya sebagai Zhao mengatakan, salah satu temannya dipukuli oleh polisi dan dua teman lainnya disemprot merica.
Zhao mengatakan, polisi menginjak kakinya ketika dia mencoba menghentikan mereka membawa temannya pergi. Dia kehilangan sepatunya dan meninggalkan protes tanpa alas kaki. Zhao mengatakan pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan termasuk, "(Kami) tidak menginginkan PCR (tes), tetapi menginginkan kebebasan".
Sebelumnya pendekatan China untuk mengendalikan Covid-19 dengan penguncian ketat dan pengujian massal dipuji oleh warganya sendiri, karena meminimalkan kematian pada saat negara lain menderita gelombang infeksi cukup parah. Xi telah mengangkat pendekatan tersebut sebagai contoh keunggulan sistem China dibandingkan dengan Barat dan Amerika Serikat. Namun dalam beberapa minggu terakhir, sikap itu telah berubah karena tragedi di bawah penegakan kebijakan nol Covid-19 yang berlebihan.