REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Bank Dunia mengungkapkan, utang luar negeri negara-negara berkembang meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan dekade lalu. Pada 2021, total utang mencapai 9 triliun dolar AS.
Pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor yang mendorong banyak negara mengambil lebih banyak pinjaman. Menurut Bank Dunia, saat ini negara-negara miskin yang memenuhi syarat untuk meminjam dari International Development Association (IDA) telah membelanjakan lebih dari sepersepuluh pendapatan ekspor mereka untuk membayar utang luar negeri jangka panjang dan jaminan publiknya masing-masing.
Bank Dunia mengungkapkan, angka itu merupakan proporsi tertinggi sejak 2000. Utang luar negeri negara-negara IDA juga melonjak hampir tiga kali lipat dalam dekade menjelang 2021. “Di permukaan, indikator utang tampaknya telah membaik pada tahun 2021. Ini tidak terjadi pada negara-negara IDA,” kata Bank Dunia dalam sebuah pernyataan, Selasa (6/12/2022), dikutip laman The Business Times.
Presiden Bank Dunia David Malpass memperingatkan, dunia sedang menghadapi gelombang kelima krisis utang. “Pendekatan komprehensif diperlukan untuk mengurangi utang, meningkatkan transparansi, dan memfasilitasi restrukturisasi yang lebih cepat, sehingga negara dapat fokus pada pengeluaran yang mendukung pertumbuhan dan mengurangi kemiskinan,” ucap Malpass.
Bank Dunia menekankan, kerentanan menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk meningkatkan transparansi utang. Menurut Bank Dunia, pertumbuhan global melambat tajam tahun ini. Hal itu dibayangi dengan peningkatan risiko resesi dunia pada 2023. Jika terjadi, resesi tahun depan bakal menjadi salah satu episode pengetatan kebijakan yang paling sinkron secara internasional dalam 50 tahun.