REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi mengatakan, negara wajib hadir tidak hanya dalam penanganan penyakit yang sudah populer dan dikenal masyarakat. Ia menekankan, kehadiran negara harus ada dalam penanganan penyakit langka.
Nurhadi menilai, selama ini negara belum sepenuhnya hadir dalam penanganan penyakit-penyakit langka. Saat ini, 6-10 persen populasi di Indonesia atau sekitar 27 juta orang menderita penyakit yang masuk dalam kategori penyakit langka.
"Bukti negara belum hadir adalah penyakit langka ini tidak tercover oleh jaminan kesehatan atau BPJS," kata Nurhadi, Kamis (8/12/2022).
Padahal, pemerintah tidak boleh menganaktirikan dan menyepelekan kasus penyakit langka yang ada di Indonesia. Ia mengingatkan, penderita penyakit langka juga warga negara yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lain, yaitu bisa mendapatkan jaminan kesehatan.
Politisi Partai Nasdem ini menuturkan, terdapat banyak kendala dalam penanganan penyakit langka di Indonesia. Misalnya, diagnosis yang sulit dilakukan, alat kesehatan yang yang belum memadai, serta minim dan mahalnya ketersediaan obat dan alat terapi.
Saat ini, obat untuk penyakit langka hanya tersedia lima persen dari 7.000 penyakit langka yang bisa diobati. Selain itu, obat banyak tidak beredar di Indonesia. Jika ada, harganya mahal.
Menurut Nurhadi, tantangan lain penanggulangan penyakit langka ialah stigma masyarakat. Stigma ini kerap kali menjatuhkan mental dan semangat penderita.
Jika penyandang penyakit langka itut tidak segera mendapatkan penanganan, sebanyak 60 persen dari mereka mengalami masalah serius dalam kualitas hidupnya.
Karena itu, Nurhadi mendesak pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menyediakan pengobatan dan terapi bagi penderita penyakit langka, serta menyediakan fasilitas dan akses luas bagi penderita penyakit langka bisa beraktivitas. Nurhadi juga meminta pemerintah memasukkan penyakit langka untuk dicover BPJS Kesehatan.
Itu jadi bentuk hadirnya negara bagi mereka dan penderita penyakit langka harus memiliki ruang hidup layak dan kesempatan mengoptimalkan kemampuan. "Mereka berhak mendapat kehidupan yang sama seperti manusia normal pada umumnya," ujar Nurhadi.