Pada September 2022 lalu, PDI Perjuangan melansir pernyataan dari Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Isinya, meminta agar nomor urut parpol peserta Pemilu 2019 lalu tak diutak-atik.
"Jadi dari pihak PDI Perjuangan, kami mengusulkan kepada KPU untuk melihat kembali, karena ini mengikat dengan masalah perundangan, tapi pengalaman dua kali pemilu, sebenarnya yang namanya tanda gambar itu, nomer itu, sebenarnya saya katakan kepada bapak presiden dan ketua KPU dan Bawaslu, bahwa itu terlalu menjadi beban bagi partai. Kan secara teknis, itu kan harus ganti lagi dengan bendera atau alat peraga yang begitu banyak," kata Megawati dalam keterangan tertulisnya, Jumat (17/9).
Ia menyatakan, sudah menyampaikan hal itu kepada KPU dan Presiden Jokowi di acara pelantikan Abdullah Azwar Anas sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Briokrasi. "Kami mengusulkan kepada KPU untuk melihat kembali, karena ini mengikat dengan masalah perundangan," ujarnya.
Sejumlah parpol lain menyatakan keberatan terhadap permintaan itu. Hal tersebut dinilai tak adil bagi parpol-parpol peerta Pemilu 2019 yang dapat nomor urut besar. Demokrat, misalnya, dapat nomor urut 14, jauh di bawah. Selain itu, tak perlu diundinya nomor urut tersebut juga dinilai merugikan parpol baru peserta Pemilu 2024 nanti. Sementara PDIP dapat nomor urut 3 pada Pemilu 2019.
Persoalannya, revisi Undang-Undang Pemilu sudah diketok palu. jadilah kemudian harapan tersebut diwacanakan pada peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Perppu itu sedianya diperlukan untuk mengakomodasi sejumlah daerah otonomi baru di Papua di pemilu nanti. Namun pada draf yang kemudian diterbitkan Presiden Joko Widodo pada Selasa (13/12/2022), masuklah persoalan nomor urut tersebut, tepatnya pada Pasal 179 ayat (3).
"Partai politik yang telah memenuhi ketentuan ambang batas perolehan suara secara nasional untuk Pemilu anggota DPR pada tahun 2019 dan telah ditetapkan sebagai Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menggunakan nomor urut Partai Politik Peserta Pemilu yang sama pada Pemilu tahun 2019 atau mengikuti penetapan nomor urut Partai Politik Peserta Pemilu yang dilakukan secara undi dalam sidang pleno KPU yang terbuka dengan dihadiri wakil Partai Politik Peserta Pemilu," bunyi pasal dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu.
Peraturan dalam perppu itu muncul tepat sehari sebelum jadwal pengundian nomor urut merujuk UU Pemilu sebelum diubah melalui perppu. Menjelang tenggat, keinginan Megawati Soekarnoputri terwujudlah sudah. Apakah benar permintaan itu sekadar soal logistik parpol? Jika menengok sejarah, sukar meyakini klaim tersebut.
Almarhum Alwi Shahab sang wartawan senior Republika itu menuturkan bahwa menjelang Pemilu 1992, ada fenomena baru. Kala itu gambar-gambar proklamator Sukarno muncul dan menggejala.
Di berbagai daerah, terutama Jawa Timur, dapat ditemukan sejumlah baliho dengan gambar Sukarno. Gambar proklamator kemerdekaan tersebut diasosiasikan dengan Partai Demokrasi Indonesia. Wajar saja, Partai Nasional Indonesia yang didirikan Bung Karno adalah salah satu partai yang dilebur Orde Baru ke dalam PDI pada 1977.
Tak hanya gambar-gambar Bung Karno, keturunannya juga mulai condong ke PDI. Dalam berbagai kampanye, mereka kerap jadi bintang. "Saya ingat kampanye-kampanye besar PDI beberapa kali didampingi oleh grup kesenian Suara Mahardika. Grup itu adalah kelompok binaan putra Bung Karno, Guruh Soekarnoputra," tutur Abah Alwi saat saya wawancarai pada 2014 silam.
Salah satu yang paling ditunggu dalam kampanye PDI adalah putri Bung Karno, Megawati Soekarnoputri. Ketika itu, yang bersangkutan masih baik hubungannya dengan Ketua Umum PDI Soerjadi. Massa yang datang ke kampanye-kampanye PDI saat itu sudah membludak.
Gelagat kebangkitan PDI sebenarnya sudah mulai terindikasi pada Pemilu 1987. Saat itu, banyak anak muda di Ibu Kota Jakarta mulai menjadikan PDI sebagai partai alternatif. Salah satu ungkapan populer menjelang Pemilu 1987 adalah “Biar Babe gue beringin, gue tetap kepala banteng.”
Pada 1987 itu, Golkar belum menunjukkan reaksi atas gejala naiknya keterpilihan PDI tersebut. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masih dilihat sebagai saingan utama.
Lain cerita pada Pemilu 1992. Salah satu cara membendung PDI yang dilakukan Golkar melalui pemerintah adalah larangan penggunaan gambar tokoh bangsa untuk kegiatan partai politik.
Alasannya saat itu, pemerintah tak ingin ada pengkultusan parpol terhadap tokoh-tokoh pendiri bangsa. Otomatis, gambar Bung Karno yang sudah kerap digunakan PDI mesti diturunkan.
Terkait hal itu, pada 1992 penggunaan simbol tangan untuk melambangkan partai politik makin populer. Di sini PDI kembali punya keunggulan.
PPP sebagai partai nomor urut satu menggunakan simbol tangan jari telunjuk yang tengah menunjuk. Golkar pada nomor urut dua, menggunakan simbol tangan untuk “victory” dengan jari telunjuk dan jari tengah yang menjulur.
Sementara PDI di nomor tiga tak menggunakan simbol tangan tradisional untuk nomor tiga. Alih-alih, jari-jari yang diacungkan adalah jempol, telunjuk, dan kelingking.
Simbol itu mirip dengan yang ditunjukkan artis-artis musik cadas utamanya yang bergenre metal. Ujung-ujungnya, PDI tercitrakan sebagai partainya anak-anak muda, terutama sebagai pemberontakan terhadap hegemoni Golkar.
PDI melakukan hal ini dengan sengaja. "PDI mengasosiasikan mereka dengan metal. Yakni dengan simbol jarinya yang sama dengan simbol metal yang universal dengan salam tiga jari (jempol, telunjuk, dan kelingking). Mereka selalu berteriak dalam kampanyenya, 'metal!' yang mereka artikan sebagai merah total (warna partai PDI)," begitu tulis Emma Baulch dalam buku berjudul Making Scenes: Reggae, Punk, and Death Metal in 1990's Bali.
Tidak sedikit dari anak metal berambut gondrong yang tertarik dengan propaganda PDI ini. Buktinya, banyak dari mereka yang ikut berjuang membela Megawati seaat pecahnya insiden 27 Juli 1996.
Stephanus Adjie, seorang metalhead senior di Jakarta mengingat juga, konser Metallica di Jakarta pada 1993 yang berujung kericuhan menebalkan semangat perlawanan anak muda kala itu. Saat kemudian rezim Orde Baru mengetatkan peraturan soal konser rock dan melarang pemutaran metal di stasiun televisi, kebencian pada status quo yang dipendam anak-anak muda menjadi-jadi.
“Pada 1996-1997 jadi puncak-puncaknya,” kata Adjie kepada Republika beberapa waktu lalu. Melalui lirik musik metal, sebagian anak-anak muda tersebut mendapatkan semacam pembenaran atas ketaksukaan mereka pada rezim yang represif, menutup informasi, dan koruptif.
Kala Megawati Soekarnoputri tampil dalam panggung politik dan PDI mengusung jargon Merah Total (Metal) menjelang Pemilu 1997, menurut Adjie, banyak anak muda saat itu mau tak mau ikut serta karena merasa punya musuh bersama. “Walaupun kemudian, maaf saja, saat Megawati jadi presiden juga begitu-begitu saja,” ujarnya.
Pada Pemilu 1999, PDI versi Megawati yang berganti menjadi PDI Perjuangan tak lagi dapat nomor urut 3, alih-alih jauh di nomor urut 11. Kemudian pada Pemilu 2004 mendapat nomor urut 18. Pada Pemilu 2009 nomor urut 28, lalu nomor urut 4 pada Pemilu 2014.
Pada Pemilu 2019, PDIP girang karena kebetulan kembali mendapat nomor 3 pada undian nomor urut parpol. Partai itu kembali menggunakan secara masif salam metal tiga jari tersebut. Walhasil mereka berhasil memertahankan dulangan suara terbanyak seperti pada 2014. Menengok sejarah tersebut, tak heran jika nomor 3 coba dipertahankan PDIP meskipun mungkin bakal membuat dongkol parpol lain. []