REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ketua DPP PDI Perjuangan, Said Abdullah menyampaikan duka mendalam atas wafatnya Kwik Kian Gie.
Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) RI itu meninggal dunia pada Senin (28/7/2025). Kwik Kian Gie dikabarkan meninggal dunia pada usia 90 tahun.
“Kami keluarga besar PDI Perjuangan kehilangan atas kepergianmu. Semoga Tuhan Yang Maha Esa menempatkan Pak Kwik ke tempat yang terhormat. Lantunan doa senantiasa kami panjatkan mengiringi ruhmu di alam keabadian. Selamat Jalan Pak Kwik,” kata dia, kepada media di Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Said mengatakan, Indonesia kehilangan ekonom gigih, guru bangsa yang terus menyuarakan idealisme hingga akhir hayat.
Dirinya berkisar awal mula bertemu Pak Kwik, begitu akrab disapa, pada 988. Ketika itu Said masih menjabat sebagai Sekretaris PDI Kabupaen Sumenep ikut rapat koordinasi di Kantor DPD PDI Jawa Timur.
Rapat koordinasi dipimpin oleh Pak Marsusi selaku Ketua DPD. Saat itu Pak Kwik hadir sebagai pembicara kunci, sekaligus Ketua Balitbangpus DPP PDI.
Teringat dalam kenangan momen itu, Pak Kwik dengan cakapnya mengulas persoalan persoalan ekonomi bangsa. “Ekonomi kita semuanya impor. Kita cuma menjadi bangsa perakit,” kata Said mengutip pernyataan Pak Kwik.
Said menilai, pikiran-pikiran Pak Kwik selalu bernas dan kritis, terutama soal soal ekonomi dan politik. Tak peduli, di dalam dan di luar kekuasaan, sikap politik dan kepribadiannya tidak berubah. Idealisme menjadi rel penyangga sekaligus “hakim” untuk menentukan langkah langkahnya. “Kecintaannya terhadap republik ini tidak surut dibarter oleh apapun,” tutur dia.
Said mengisahkan, saat krisis 1997/1998, Pak Kwik menonjol sebagai figur terdepan mempersoalkan skema penyelesaian ala IMF terhadap utang para obligor. IMF dan sejumlah menteri di kabinet menyetujui skema pengambil alihkan aset para obligor atas utang mereka di bank yang diambil alih oleh BPPN.
Pak Kwik menilai, sejumlah aset perusahaan yang disita BPPN jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah utang, sebab asetnya jauh lebih kecil dibandingkan kewajibannya. Pak Kwik kalah dalam keputusan ini, namun beliau tetap berdiri dengan kepala tegak.
Said mengisahkan dalam sebuah cerita lain. Pada 2004, Ibu Mega yang saat itu menjabat sebagai Presiden memerintahkan Pak Kwik selaku Kepala Bappenas untuk mengelola sendiri Blok Migas di Cepu dari Exxon Mobil (EM) yang berposisi sebagai Technical Assitance Contract (TAC) yang akan berakhir 2005.
Pak Kwik bersama Pertamina membuat konsep kontrak kerjasama operasi di mana EM nantinya menjadi subordinat Pertamina. Desain ini sangat memberi nilai ekonomi yang besar bagi bangsa, namun belum terimplementasi, masa pemerintahan Ibu Mega berakhir.
“Tidak sejengkal pun kita ragu atas nasionalismenya Pak Kwik, beliau meneruskan jalan pikiran Bung Karno dan Bung Hatta, yang menginginkan ekonomi kita sebagai bangsa bisa mandiri. Oleh sebab itu, beliau selalu memberi perhatian besar tentang bagaimana sumber daya alam dikelola, dan bagaimana cara mengelolanya,” kata dia mengenang jejak Pak Kwik.