REPUBLIKA.CO.ID, BRIDGETOWN - Pengadilan tinggi di Barbados mencabut undang-undang (UU) era kolonial yang mengkriminalisasi pelaku gay. Barbados kini menjadi negara ketiga di wilayah konservatif Karibia yang melakukannya tahun ini.
Para aktivis dan organisasi nirlaba negara kepulauan tersebut telah lama berjuang melawan UU yang mengkriminalisasi gay, termasuk yang menuntut hukuman seumur hidup bagi pria gay yang dinyatakan bersalah melakukan hubungan seks.
Kepala eksekutif Human Dignity Trust, sebuah organisasi hak asasi manusia yang berbasis di London, Tea Braun mengatakan, bahwa orang-orang lesbian, gay, bisexual, transgender, queer dan lainnya (LGBTQ+) dianggap kriminal dan merupakan warga negara yang lebih rendah, meski UU jarang digunakan. Pencabutan UU menurutnya adalah hal yang membuka hak-hak LGBTQ+ untuk hidup lebih damai di negara kepulauan tersebut.
"Pencabutan undang-undang membalikkan penilaian kriminal dan rendah itu, dan dalam semalam memberi tahu seluruh masyarakat bahwa ini adalah kontak suka sama suka dan bahwa apa yang orang pilih untuk lakukan dengan hubungan pribadi mereka bukanlah urusan hukum," katanya seperti dilansir laman Guardian, Rabu (14/12/2022)..
Beberapa gereja dan organisasi Kristen di seluruh Karibia telah menentang penghapusan undang-undang tersebut. Ada dukungan dari beberapa pemimpin politik yang memohon Tuhan dalam argumen mereka.
Braun mengatakan, hanya ada enam negara tersisa di benua Amerika dengan undang-undang serupa, termasuk Guyana, Grenada, Dominika, St Vincent dan Grenadines dan Jamaika. Anggota komunitas LGBTQ+ telah melarikan diri setelah serangan kekerasan. Sebuah kasus di St Lucia sedang menunggu keputusan. Awal tahun ini, pengadilan Karibia menemukan undang-undang semacam itu di Antigua & Barbuda dan St Kitts dan Nevis tidak konstitusional.
Pengadilan tinggi Barbados memang hanya mengeluarkan putusan lisan yang menyatakan bahwa undang-undang gay tidak konstitusional, dan tidak akan mengeluarkan putusan tertulis yang merinci alasannya hingga akhir Januari. Belum jelas apakah pemerintah berencana untuk mengajukan banding.
Perdana Menteri Barbados Mia Mottley dianggap sebagai sekutu komunitas LGBTQ+ dan pernah menyerukan penghapusan undang-undang ketika dia menjadi jaksa agung pulau itu.
Kasus tersebut diajukan oleh dua advokat LGBTQ+ di Barbados dengan dukungan organisasi lokal termasuk Aliansi Karibia Timur untuk Keanekaragaman dan Kesetaraan, Inc. Pihaknya mengatakan keputusan pengadilan mengkonsolidasikan hak semua orang Barbad atas privasi dan kebebasan berekspresi.
"Menolak undang-undang ini tentu saja tidak menyelesaikan semua masalah," kata Braun. Ia juga mencatat bahwa komunitas LGBTQ+ masih menghadapi kekerasan dan diskriminasi.
"Pembongkaran undang-undang ini adalah langkah besar pertama, tetapi bukan langkah terakhir," katanya.