REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI mengatakan, gerakan terorisme yang dilakukan kelompok teror bukan untuk misi perdamaian. Melainkan, berusaha mengambil atau merebut kekuasaan yang sah.
"Mereka itu gerakan politik yang ingin mengambil alih kekuasaan. Gerakan politik yang ingin berkuasa dengan memanipulasi, mendistorsi dan mempolitisasi agama," kata Direktur Pencegahan BNPT RI Brigjen Polisi Ahmad Nurwakhid pada webinar 'cegah terorisme' di Jakarta, Sabtu (17/12/2022)
Pada akhirnya kelompok tersebut ingin mendirikan negara agama menurut versi mereka (kelompok terorisme). Artinya, selama ini kelompok terorisme menjadikan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan utamanya.
"Padahal, tindakan mereka sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama manapun," ucap dia.
Kesimpulannya, ujar dia, terorisme yang dijiwai oleh paham radikal sejatinya fitnah dalam agama. Kelompok tersebut merupakan musuh agama maupun musuh negara. Sebab, perbuatannya membajak dan mengatasnamakan agama hanya untuk kepentingan kekuasaan.
"Disebut musuh negara karena mereka melanggar perjanjian yang sudah menjadi kesepakatan berbangsa dan bernegara," ujarnya.
Dia menjelaskan, yang dimaksud dengan melanggar perjanjian ialah anti-pancasila maupun anti-keberagaman yang pada dasarnya sudah menjadi ketetapan/kehendak Allah.
Pada kesempatan itu, Brigjen Polisi Nurwakhid mengatakan, paham radikal ibarat sebuah virus dan bisa memapar siapa saja tanpa terkecuali, termasuk polisi.
Untuk mencegah penyebaran paham radikal dapat dilakukan dengan penyebaran narasi-narasi positif, penyebaran nilai ketuhanan, menanamkan nilai kebaikan serta moderasi berbangsa dan beragama.
"Moderasi beragama dan berbangsa itu bagaimana kita mencintai Pancasila, kebinekaan, NKRI termasuk mencintai UUD 1945," ujar dia.