Oleh Rizky Suryarandika
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas HAM melansir potensi terjadinya kehilangan kewarganegaraan ratusan ribu Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Malaysia. Sementara Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI) mengungkapkan kasus penahanan dokumen para pekerja migran.
Dari data kasus yang ditangani oleh KABAR BUMI pada 2022, berjumlah 213 kasus,164 perempuan dan 49 laki-laki. Mayoritas kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang sebanyak 80 kasus. Dari data penanganan kasus lainnya, diantaranya penahanan dokumen, pemalsuan data, pemaksaan kontrasepsi, hilang kontak, menghadapi hukuman mati, overcharging (membayar biaya penempatan berlebih), pemulangan jenazah, asuransi, tidak digaji."
Dari semua kasus, setiap orang mengalami lebih dari tiga kasus sekaligus, ini merupakan bentuk kekerasan berlapis pada PMI terutama pada perempuan yang mengalami kekerasan berbasis gender," kata Kepala Departemen Advokasi dan Pelayanan KABAR BUMI, Wiwin Warsiating kepada Republika, Senin (19/12/2022).
Dari penelitian KABAR BUMI, ditemukan 7 dari 10 orang PMI mengalami penahanan dokumen di Indonesia dan di negara penempatan. Penahanan dokumen terjadi untuk meyakinkan BMI membayarkan biaya penempatan. Meskipun dalam UUPPMI Nomor 18 Tahun 2017 menyatakan bahwa PMI tidak boleh dikenakan biaya/zero cost.
"Sampai saat ini Pemerintah sama sekali tidak ada niat untuk merealisasikan zero cost," ujar Wiwin.
Bahkan di tengah pandemi Covid-19, BP2MI mengeluarkan KEPKA Nomor 214 Tahun 2021 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembebasan Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Hal tersebut, menurutnya menunjukan tidak ada niatan dari pemerintah memberikan perlindungan.
"Jargon memberikan perlindungan dari ujung kuku hingga ujung rambut hanya isapan jempol belaka," ucap Wiwin.
KABAR BUMI juga mengeluhkan pelayanan dan perlindungan yang diberikan kepada
pihak swasta (P3MI dan Agen). Pemerintah pun masih mementingkan kepentingan bisnis ketimbang perlindungan buruh migran.
"Selama negara masih belum memberikan pelayanan dan perlindungan secara langsung maka masih banyak persoalan yang menimpa PMI dan keluarganya, seperti penahanan dokumen, overcharging. Karena solusi dari penahanan dokumen dan overcharging adalah kontrak mandiri, penegakan hukum dan menciptakan mekanisme penuntutan ganti rugi bagi PMI yang mengalami masalah," ujar Wiwin.
Komnas HAM sebelumnya menyoroti fenomena Warga Negara Indonesia (WNI) yang berpotensi menjadi stateless atau tanpa kewarganegaraan di Malaysia. Komnas HAM meminta Pemerintah memfasilitasi mereka dengan dokumen negara yang sah.
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah menjelaskan ada beberapa skema yang bisa ditempuh guna membantu mereka. Salah satunya dengan dilakukan pendataan sekaligus verifikasi kebenaran mereka sebagai WNI.
"Pemerintah bisa juga lakukan terbitkan dokumen mulai dari paspor. Jadi pendataan dulu, mereka sudah berapa lama? Apa sih buktinya mereka WNI? Itu yang perlu ditelusuri. Bisa dilakukan upaya pendataan jemput bola atau proaktif mereka bisa melapor," kata Anis kepada Republika, Ahad (18/12).
Konjen Indonesia di Malaysia mencatat WNI yang berpotensi menjadi stateless di Sabah, Malaysia sebanyak 151.979 orang WNI di Kinabalu dan 173.498 orang di Tawau, dengan total keseluruhan 325.477 orang.
Republika sempat menyambangi sejumlah enclave para pekerja migran Indonesia ini di kebun-kebun sawit di Kinabalu dan Tawau beberapa waktu lalu. Di lokasi tersebut memang ditemukan banyak anak-anak migran yang tak memiliki dokumen kelahiran. Hal ini salah satunya disebabkan karena pernikahan para buruh migran juga sebagian tak dicatat secara resmi.
Anak-anak migran tersebut tak juga mendapat kesempatan sekolah yang memadai karena tak memiliki dokumen lahir. Kendati demikian, mereka biasa dipekerjakan di kebun-kebun sawit sejak berusia sekitar delapan tahun.
Pihak Konsulat Jenderal RI di Kota Kinabalu saat itu sempat menduga praktik itu dibiarkan perusahaan sawit karena menyediakan tenaga kerja baru. Saat Republika menyambangi lokasi-lokasi di tengah kebun sawit itu pada 2011, para imigran yang beranak-pinak itu ada yang sudah mencapai generasi ke-3 bahkan ke-4.
Para pekerja, sebagian besar berasal dari Sulawesi Selatan dan NTT, mengaku tak bisa mengurusi dokumen-dokumen kewarganegaraan karena paspor mereka ditahan pihak perusahaan perkebunan sawit. Selain itu, upah yang mereka dapatkan kala itu juga tak mencukupi pengurusan dokumen-dokumen tersebut.