REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar strategi pemasaran Universitas Airlangga (Unair) Prof Sri Hartini menyoroti strategi pemasaran es krim dan minuman teh, Mixue, yang gerainya begitu cepat menjamur di Indonesia. Saking cepatnya perkembangan bisnis Mixue, sampai-sampai logo Mixue yang berbentuk boneka salju Snow King dijuluki dengan sebutan malaikat pencatat ruko kosong.
Hartini menyebut, perluasan geras Mixue atau yang ia sebut Mixue-isasi adalah fenomena yang menarik dalam dunia perusahaan. Perusahaan berhasil menerapkan konsep-konsep strategi marketing dengan tepat. Hartini menyebut, setidaknya ada empat komponen marketing yang diterapkan Mixue dengan baik, yaitu price, product, place, dan promotion.
"Dalam hal ini, Mixue berhasil menggunakan empat tools tersebut dengan baik," ujarnya, Jumat (6/1/2023).
Komponen pertama, yaitu price atau harga. Menurut Hartini, kekuatan utama Mixue terletak pada harganya yang relatif murah. Dalam teori marketing strategy, hal itu disebut dengan penetration pricing. Mixue, lanjut Hartini, sengaja merebut pasar-pasar es krim yang sudah ada dengan harga yang paling murah.
"Kita tidak tahu ke depannya kalau penetration pricing itu memang menawarkan harga yang paling murah atau nanti ketika kompetitor lain sudah tidak ada, pelan-pelan menaikkan harga," kata Hartini.
Selain penetration price, lanjut Hartini, harga jual Mixue juga dipengaruhi karena perusahaan tersebut memiliki banyak cabang, sehingga memerlukan banyak kebutuhan untuk produksi. Hal tersebut membuat Mixue mencapai skala ekonomis sehingga laku keras dan biaya produksi menjadi lebih rendah.
Komponen kedua, yaitu product. Menurut dia, produk Mixue juga memiliki rasa yang tidak kalah dari produk-produk pesaing lainnya. Meskipun dijual dengan harga yang murah, Mixue justru berhasil membuat produk yang bagus dan mampu bersaing di pasaran.
Komponen ketiga adalah place. Menurut dia, distribusi perusahaan Mixue berhasil mengandalkan kekuatan relationship atau kemitraan yang banyak. Tidak membutuhkan tempat yang mahal dan bagus, tetapi tempat yang ramai dan strategis, sehingga hal itulah yang membuat ekspansi Mixue makin masif.
"Terakhir, mengenai promotion, Mixue menggunakan media social marketing, seperti Instagram, Tiktok, dan sebagainya sehingga produknya mudah dikenal banyak orang dan viral," ujarnya.
Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unair itu melanjutkan, Mixue-isasi berbeda dengan McDonaldisasi, meskipun keduanya sama-sama berekspansi sebagai franchise. Dalam hal ini, ekspansi Mixue lebih masif ketimbang McDonald karena harganya yang lebih murah, sehingga orang lebih mudah untuk membuka gerai.
"Selain itu, saya rasa kalau McDonald dulu kita belum terbiasa makan roti dan kentang, itu dibuat orang jadi makanan yang biasa. Tapi, kalau es krim itu bukan makanan yang baru. Cara masuknya sama, tapi tetap keduanya berbeda," kata dia.
Hartini mengatakan, eksistensi Mixue tentu akan berdampak terhadap gerai-gerai es krim dan minuman lainnya yang sudah ada di Indonesia. Meskipun setiap produk memiliki target pasar yang berbeda. Namun, jika pasar-pasar tersebut tidak dijaga, kemungkinan akan beralih ke Mixue.
"Terlebih kondisi saat ini semuanya serbaviral dan krisis moneter, sehingga semua orang memiliki sensitivitas harga yang tinggi. Jadi, perusahaan lokal harus berbenah, harus membuat produk baru dan terus berinovasi," kata dia.