REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara yang juga mantan menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yusril Ihza Mahendra menyoroti Mahkamah Konstitusi (MK) yang kini dinilainya kerap menciptakan banyak putusan yang kontroversial. Hal itu jika dilihat dari sudut Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Salah satunya saat MK membatalkan sebuah undang-undang dan menyatakan undang-undang yang telah dicabut oleh pemerintah bersama DPR berlaku kembali. Ada pula saat MK membatalkan suatu pasal dalam undang-undang, lalu kemudian mengatur sendiri pasal yang dicabut tersebut dengan aturan yang baru.
"Padahal, sejatinya membuat aturan yang baru itu kewenangan DPR dan presiden, bukan kewenangan MK. Pada hemat saya, MK sendiri menciptakan banyak putusan yang kontroversial dilihat dari sudut UUD '45," ujar Yusril lewat keterangannya, Ahad (8/1).
Ia kemudian menanggapi soal kemungkinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang melanggar UUD 1945 lewat terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) NOmor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Menurutnya, hal tersebut dapat diperdebatkan secara akademis.
"Apakah Presiden bisa dianggap melanggar UUD '45 jika tidak menaati putusan MK, jawabannya bisa menjadi suatu hal yang bisa diperdebatkan secara akademis. Apalagi, jika putusan MK-nya sendiri juga problematik dilihat dari sudut UUD '45," ujar Yusril.
"Saya memberikan banyak kritik kepada MK agar lembaga ini tidak menjadi semacam berhala baru, yang apabila seseorang atau suatu lembaga tidak menaati putusannya, lantas dianggap melanggar atau tidak patuh pada UUD 45," sambung Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu.
Jelasnya, kewenangan MK yang diberikan oleh Pasal 24C Ayat 1 UUD 1945 itu adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Ia sendiri mewakili pemerintah dalam membahas RUU MK di DPR pada 2003.
Salah satu "kreasi" MK adalah ketika menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. MK menyatakan, undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, tetapi tidak membatalkannya dan justru melainkan memberi waktu selama dua tahun untuk perbaikannya.
"Jika waktu tersebut lewat tanpa perbaikan, maka UU tersebut tidak mengikat secara permanen. Hal-hal seperti ini menimbulkan persoalan baru bagi pembentuk UU, seperti terjadi sekarang," ujar Yusril.
"Agak merepotkan juga jika ada sebuah lembaga yg beranggotakan sembilan orang bisa dianggap sebagai manifestasi atau penjelmaan UUD '45. Tidak patuh pada mereka itu, dianggap tidak patuh pada UUD '45, sungguh merepotkan," sambung mantan menteri Sekretaris Negara era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu.