Senin 09 Jan 2023 13:16 WIB

Sudahi Berbahasa Kasar di Media Sosial

Media Sosial harus menjadi alat pemersatu umat Islam.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Erdy Nasrul
Ilustrasi pengguna dan pegiat media sosial.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ilustrasi pengguna dan pegiat media sosial.

REPUBLIKA.CO.ID, Muslim Harus Beri Teladan Karena Islam Adalah Agama Persatuan

 

K UALA LUMPUR -- Sebuah pepatah Melayu menyebut "Bahasa menunjukkan bangsa", yang mana berarti bahasa mencerminkan identitas seseorang. Namun jika dilihat lebih dalam, dalam bahasa dan cara berbicara seseorang, tidak hanya mencerminkan kepribadian tetapi juga identitasnya.

Islam, di sisi lain, dengan tegas menuntut umat-Nya untuk menggunakan tutur kata yang santun agar pesan yang disampaikan langsung masuk ke hati seseorang. Bahkan, berbicara santun juga merupakan bagian dari metode dakwah yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.

Meski demikian, akhir-akhir ini unsur kesopanan itu seakan menghilang, terutama di dunia maya. Banyak penggunanya yang membombardir media sosial dengan kata-kata makian, kebohongan dan fitnah.

Menteri di Departemen Perdana Menteri (Urusan Agama) Malaysia Datuk Dr Mohd Na’im Mokhtar pun mendesak umat Islam untuk segera berhenti menggunakan bahasa kasar di dunia maya. Budaya seperti itu tidak boleh dibiarkan berkembang biak dan “menginfeksi” generasi mendatang.

Nenurutnya, umat Muslim harus meneladani sifat-sifat mulia Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam surat al-Ahzab ayat 21. Rasulullah adalah teladan terbaik yang harus diikuti bagi mereka yang ingin menerima rahmat Allah dan menuai pahala di akhirat.

“Logikanya, orang akan menjauhi orang yang kasar dan ketus. Ketika kita hidup dalam komunitas, ada satu hal mendasar yang harus kita semua pahami dan praktikkan, yaitu memahami orang lain jauh sebelum mereka memahami kita," ujar dia dikutip di Bernama, Senin (9/1/2023).

Allah SWT disebut telah memberi anugrah nikmat yang mungkin tidak ditemukan di negara lain, yaitu adanya (orang-orang) dari berbagai ras dan agama. Ia pun mengajak setiap pihak untuk menyadari hal ini dan berusaha belajar tentang adat dan budaya orang lain.

Ketika hidup dalam masyarakat yang unik seperti di negeri Jiran itu, suka atau tidak suka, situasi yang melibatkan keterlibatan publik dapat terjadi kapan saja dan menuntut untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama yang menghargai persatuan.

"Dan pada akhirnya non-Muslim akan melihat sendiri keindahan Islam melalui keindahan karakter kita,” lanjut dia.

Ia lantas menekankan bahwa memfitnah orang lain adalah dosa. Mohd Na'im mengatakan umat Islam harus memperhatikan setiap pesan kasar atau fitnah yang diunggah di media sosial akan dianggap sebagai sumber dosa terus menerus, jika dibagikan dan diedarkan oleh netizen lainnya.

Pengguna media sosial diimbau untuk tidak menyebarkan sesuatu (informasi) tentang orang lain tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Jika informasi itu tidak benar, tindakan itu selamanya dapat mencoreng reputasi dan kredibilitas orang yang difitnah.

"Saat menggunakan media sosial, kita harus bertanya pada diri sendiri, apa tujuan utama kita. Apakah untuk menarik 'like' sebanyak mungkin dan meningkatkan jumlah pengikut?" kata dia.

Langkah ini disebut tidak benar, karena Islam menekankan untuk memeriksa setiap informasi yang datang dengan cermat, sebelum membaginya dengan orang lain.

Sementara itu, Dekan Fakultas Kepemimpinan dan Manajemen Universiti Sains Islam Malaysia Dr Faizal Kasmani mengatakan, masih banyak orang di luar sana yang belum memahami makna fitnah yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena dangkalnya ilmu, serta tidak mampu berpikir efek jangka panjang dari tindakan itu pada korban fitnah.

"Pada dasarnya, setiap informasi yang muncul di media sosial merupakan pandangan atau ide yang tidak difilter yang diungkapkan oleh orang yang mempostingnya," ucap Dr Faizal.

Seseorang (pengguna media sosial) disebut bisa saja menyampaikan pendapat atau informasi dari sudut pandangnya. Sehingga, orang lain yang membaca harus memverifikasi kebenarannya sebelum menyebarkannya.

Secara umum, fitnah atau pencemaran nama baik adalah suatu perbuatan (format) tertulis, visual, atau lisan, termasuk di media sosial, yang merendahkan seseorang sehingga menyebabkan orang tersebut diejek, dihina dan dibenci.

Oleh karena itu, sebagai pengguna media sosial, harus selalu skeptis dan bertanya pada diri sendiri siapa yang mengirimkan informasi tersebut. Apakah informasinya sudah diverifikasi, berasal dari sumber terpercaya, mengapa harus disebarluaskan, serta apakah itu bentuk fitnah yang bisa mempengaruhi kredibilitas seseorang.

Faizal menambahkan, masyarakat juga harus mengambil tanggung jawab untuk memverifikasi setiap informasi yang ditemukan di media sosial. Caranya dengan membandingkannya dengan berita yang dilaporkan oleh organisasi media tepercaya.

“Jika seseorang tidak melakukan verifikasi dan membuat tuduhan yang tidak berdasar, dia dapat dituntut di pengadilan perdata berdasarkan UU Pencemaran Nama Baik 1957. Jika terbukti bersalah, pelaku harus membayar ganti rugi khusus,” katanya.

Dia mengatakan pelaku seperti itu juga dapat menghadapi tuntutan pidana dan dijerat Pasal 499 KUHP dengan ancaman hukuman penjara maksimal dua tahun atau denda atau keduanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement