REPUBLIKA.CO.ID, Ancaman pengangguran di kalangan nelayan di Kabupaten Indramayu semakin nyata. Tingginya biaya melaut yang tak sebanding dengan hasil tangkapan, membuat sejumlah pemilik kapal tak mampu lagi mengoperasikan kapalnya.
Kondisi itu salah satunya dialami oleh Aqsori (35). Warga Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu itu sebelumnya berprofesi sebagai nahkoda kapal ikan.
Namun sejak setahun terakhir, Aqsori kehilangan pekerjaan yang telah dijalaninya selama sepuluh tahun itu. Kapal milik juragan tempatnya dulu bekerja, tak lagi dioperasikan.
"Ya sekarang nganggur, ikut kerja harian benerin jaring ikan," kata Aqsori, saat ditemui Republika di muara Desa Karangsong, Jumat (13/1/2023).
Saat menjadi nahkoda, Aqsori biasa berlayar ke berbagai perairan di Indonesia, termasuk Papua. Dia pun menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan hingga tujuh bulan, dalam sekali pelayaran.
Dari kebiasaannya memegang kemudi kapal mengarungi lautan, kini di tangan Aqsori tergenggam alat bernama coban. Alat tersebut digunakannya untuk menjahit jaring ikan milik salah satu kapal yang mengalami kerusakan. Ada setumpuk hamparan jaring ikan berwarna putih yang telah selesai diperbaikinya.
Aqsori mengaku, rela bekerja dengan upah harian agar istri dan dua anaknya bisa tetap makan. Dari pekerjaannya itu, dia diberi upah Rp 120 ribu per hari. Namun, pekerjaan itu tidak selalu tersedia setiap hari. Selebihnya, dia bekerja serabutan.
Aqsori mengaku, tidak sendirian mengalami kondisi seperti itu. Menurutnya, banyak rekannya sesama nahkoda yang juga kehilangan pekerjaan seperti dirinya. Begitu pula nelayan yang menjadi anak buah kapal (ABK).
"Kondisi di laut sekarang sedang susah. Biaya perbekalan yang tinggi, tidak sebanding dengan harga ikan yang rendah. Nahkoda dan ABK sangat merasakan dampaknya," tutur Aqsori.
Hal itu dibenarkan oleh salah seorang nahkoda, Wardani. Meski kapal milik juragannya masih bisa beroperasi, namun hasil yang didapat saat ini minim.
Wardani menjelaskan, kapal berukuran 21 gross ton (GT) yang dikemudikannya membutuhkan biaya perbekalan sekitar Rp 50 juta untuk melaut selama sebulan di Laut Jawa. Biaya perbekalan itu salah satunya digunakan untuk membeli 3.000 liter solar.
Namun, hasil tangkapannya hanya di kisaran Rp 100 juta. Hasil tersebut kemudian dipotong untuk biaya perbekalan melaut sebesar Rp 50 juta. Sisanya, dibagi 60:40, dimana pemilik kapal memperoleh 60 persen dan 40 persen lainnya dibagi untuk nahkoda dan tujuh orang ABK.
"Uang yang dibawa pulang ke rumah ya tinggal hitung saja sendiri. Pokoknya seperti itu pembagiannya, bisa lebih banyak, bisa juga lebih sedikit, tergantung hasil tangkapan," ucap Wardani saat ditanya berapa penghasilannya.