REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Sumatera adalah salah satu amunisi perekonomian Indonesia. Kekayaan perut buminya menjadi pemasok sumber daya mineral. Sementara tanahnya menyediakan karet dan sawit sebagai komoditas ekspor.
Karena itu, ketersediaan akses yang memadai harus segera digarap agar Sumatera dapat menyusul ketertinggalannya dari Pulau Jawa. Salah satunya dengan memperbaiki Jalan Lintas Sumatera (JLS).
Bagi Anda yang tinggal di sepanjang wilayah Sumatera tentu tidak asing lagi dengan JLS. Sebuah jalur arteri yang menjadi penghubung setiap provinsi di Sumatera, mulai dari Lampung hingga Nangroe Aceh Darussalam dengan total panjang jalan 2.508,5 kilometer. Seiring dengan makin pesatnya laju perekonomian dari dan ke Sumatera, JLS pun menjadi semakin padat oleh kendaraan.
Sayangnya, peningkatan volume kendaraan tersebut tidak diiringi dengan perbaikan dan perlebaran jalan oleh pemerintah pusat. Sebagai contoh Jalan Lintas Timur Kayuagung-Indralaya, jalur ini membentang di sepanjang perkampungan warga dengan lebar tidak lebih dari 10 meter, sedangkan jarak antara jalan dan halaman rumah warga hanya sekitar 3 meter.
Kondisi yang tidak lebih baik juga terjadi disepanjang jalan Indralaya-Palembang (Jalan Lintas Timur km.32), yang hanya terdiri dari dua ruas jalan aspal hasil timbunan pada area rawa-rawa disekitarnya. Kondisi ini tentu meningkatkan risiko kendaraan terguling ke sisi jalan. Permasalahan serupa juga banyak terjadi di berbagai jalan lintas daerah lainnya.
Ada berbagai opsi yang dapat dilakukan dalam memecahkan problema tersebut. Dan yang belakangan sedang digadang-gadangkan adalah pembuatan Jalur Tol Trans Sumatera (JTTS). Mega proyek ini merupakan salah satu poin dalam pelaksanaan Mansterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Namun, para pengguna JLS nampaknya harus lebih bersabar lagi untuk menunggu terwujudnya JTTS. Paling tidak itulah yang terlintas dibenak saya setelah mengikuti seminar “Jasa Marga Goes to Campus: Mengenal Industri Jalan Tol” di Universitas Indonesia, Jumat (21/3) lalu.
Berdasarkan pemaparan Direktur PT Jasa Marga Hasanudin, pengerjaan suatu proyek jalan tol tidaklah semudah proyek pembangunan gedung atau industri perkebunan. Pembangunan proyek jalan tol membutuh dana yang besar sedangkan perputaran pengembalian invetasinya memakan waktu hingga puluhan tahun.
Selain itu, hingga saat ini pemerintah Indonesia tidak mengeluarkan regulasi terkait pembebasan lahan yang akan dijadikan jalan tol. Sehingga soal pembebasan lahan masih menajadi pekerjaan rumah tersendiri bagi investor seperti Jasa Marga.
Beda halnya dengan pembebasan tanah demi kebutuhan pertanian. Dilihat dari kacamata hukum, regulasi pembebasan lahan pertanian telah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria No. 2 tahun 1993 tentang Tata Cara Memeroleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi perusahaan dalam rangka Penanaman Modal, lebih jelas lagi termaktub dalam Bab I Pasal 1.
Sebagai contoh di daerah Jalur Lintas Timur Lampung-Sumatera Selatan misalnya dimana pembebasan lahan justru kerap terjadi untuk perkebunan karet dan sawit. Pada tahun 2012, luas perkebunan karet di Provinsi Sumatera mencapai 675.437 hektar, naik dari sebelumnya seluas 450.868 hektar .
Di Lampung, luas perkebunan karet juga meningkat menjadi 86.445 hektar. Dan tak jarang sebagian perkebunan tersebut berbatasan langsung dengan jalan raya dan JLS terutama di wilayah Menggala Lampung hingga Kab. Ogan Komering Ilir (Sumsel).
Masyarakat sendiri menanggapi pemebebasan lahan untuk kebutuhan dengan cukup positif. Karena, meski mereka sudah menjual tanahnya, perusahaan-perusahaan yang membeli tanahnya kemudian memperkerjakan mereka di perkebunan nantinya. Sehingga, masyarakat menganggap mereka masih memiliki sumber mata pencaharian dengan bekerja mengolah lahan perkebunan.
Tentu persoalannya berbeda jika berbicara soal pembebasan lahan dalam konteks pembangunan jalan tol. Tidak ada aturan hukum yang mengkawal proses pembebasan lahan, juga tidak ada keberlanjutan hubungan antara pihak masyarakat dan pihak penyelenggara proyek apabila transaksi telah selesai. Hal inilah yang dapat disaumsikan menjadi penyebab alotnya perundingan pembebasan lahan proyek JTTS.
Untuk mensiasati pola pikir masyarakat tersebut ada baiknya, PT Jasa Marga dapat mengalokasikan dana corporate social responsibility (CSR) dengan melakukan pelatihan kewirausahaan kepada masyarakat yang tanahnya terkena pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol.
Paling tidak usaha tersebut dapat mengobati 'luka hati'' dan memberi pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya kesediaan mereka dalam mempengaruhi percepatan pembangunan dan perekonomian Sumatera.
Meski begitu, semua perkara tersebut kembali lagi kepada kebijakan pemerintah. Seandainya pemerintah mau mengeluarkan regulasi pembebasan lahan untuk jalan tol sebagaimana pembebasan lahan perkebunan, masyarakat pun pasti dapat memaklumi sehingga akan berimplikasi pada percepatan realisasi JTTS.
Bukankah pada akhirnya konektifitas dan aksesibilitas daerah menjadi roda penggerak perekonomian bangsa juga? Lantas alasan apalagi yang akan diutarakan Pemerintah Pusat untuk mengulur-ulur pembangunan JTTS?
Penulis: Kamilah Kinanti -- Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan, Universitas Indonesia