REPUBLIKA.CO.ID, Wajahnya masih bersemangat. Rasa lelah tak terlihat dari roman mukanya yang sudah hitam terpanggang matahari. “Rasa lelah tak bisa mengalahkan saya. Anak saya lebih penting,” ujar Ajat, seorang tukang parkir di pertigaan Buah Dua Rancaekek, Bandung.
Ada yang menarik dari sisi lelaki berusia 42 tahun ini. Tubuhnya pendek dan berkaki pincang. Namun semangat hidupnya luar biasa. Mulai dari pagi hingga malam hari, ia rela menjalani profesinya sebagai tukang parkir demi menyambung hidup bagi anak-anaknya.
Selama kurun waktu 4 tahun, ia menempuh perjalanan hidup hanya dengan satu kaki. Beberapa tahun silam, Ajat mengalami kecelakaan yang mematahkan kaki kirinya. “Apa yang bisa saya lakukan? Ini semua kehendak Allah,” ujar Ajat, tergelak
Berprofesi sebagai tukang parkir, tak sekalipun membuatnya putus asa. Seusai magrib, biasanya Ajat sudah kembali berdiri di pertigaan jalan, sembari mengatur kendaraan yang sedang lalu lalang. Pekerjaan ini biasa dilakukannya hingga jam 12 malam. Kadang, rasa kantuk pun tak berbendung lagi. Tapi mengingat anak dirumah, sesekali Ajat mengabaikan kecenderungan itu.
“Penghasilan”, terang saja hal itu menjadi kendala pikirannya.”Bayangkan saja. Dengan pendapatan saya yang terbilang minim. Dibalik itu, saya harus menghidupi ketujuh buah hati saya. Tapi dengan kesabaran dan tekad yang selalu saya andalkan, membuat saya merasa kaya tanpa harta,” ujar bapak bertongkat ini.
Itulah Ajat. Semangat dan kerja kerasnya untuk keluarga bisa menjadi contoh di saat bangsa ini seolah melakukan praktik menghalalkan segala cara untuk mencari nafkah.
Penulis: Muhammad Shendy A (Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Komunikasi dan Dakwah UIN SGD)