REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Dadang Kurnia
Campak tengah mewabah di Tanah Air. Beberapa daerah bahkan menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) menyusul tingginya temuan kasus di kalangan anak-anak.
Kementerian Kesehatan mencatat, peningkatan kasus campak di 31 provinsi di Indonesia sepanjang 2022. Sebanyak 3.341 infeksi dilaporkan, jumlah ini melonjak 32 kali lipat dari tahun sebelumnya yakni sekitar 200 kasus.
Cakupan imunisasi campak yang merosot tajam diyakini sebagai penyebab lonjakan kasus saat ini. Dua tahun pandemi Covid-19 telah memberikan pengaruh besar terhadap kekhawatiran orang tua membawa pergi anaknya keluar rumah.
"Anak-anak yang tidak mendapat imunisasi ini tentu akan menyebabkan risiko makin besar terhadap penyakit yang bisa dicegah melalui imunisasi, termasuk tadi khawatirnya adalah campak, campak yang paling cepat menular," kata Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan RI Prima Yosephine dalam konferensi pers secara daring, Jumat (20/1/2023) pekan lalu.
Menurut Prima, pencegahan campak hanya bisa diperoleh dari imunisasi. Sehingga, imunisasi sesuai jadwalnya harus dilakukan supaya anak-anak terhindar dari campak.
Sepanjang 2022, sudah ada 12 provinsi yang mengeluarkan pernyataan KLB. Suatu daerah disebut KLB kalau ada minimal dua kasus campak di daerah tersebut yang sudah terkonfirmasi secara laboratorium dan kasus ini memiliki hubungan epidemiologi.
"Selama tahun 2022 yang lalu jumlah kasus campak yang ada di negara kita memang cukup banyak lebih dari 3.341 laporan kasus. Kasus – kasus ini menyebar di 223 kabupaten/kota di 31 provinsi," ucap Prima.
Jumlah kasus ini didapat selama kurun waktu 1 tahun dari Januari sampai Desember 2022. Jika dibandingkan dengan tahun 2021 ada peningkatan yang cukup signifikan kurang lebih 32 kali lipat.
Ketua UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Anggraini Alam, juga menilai, lonjakan penyakit campak lantaran cakupan vaksinasi campak cenderung terus menurun. Sejak 2015 cakupan vaksinasi terus menurun hingga 2021 menyusut drastis, salah satunya efek pandemi Covid-19.
"Semakin banyak yang tidak divaksinasi, semakin rentan risiko terinfeksi. Kekebalan pada infeksi juga bisa 'lupa' karena tidak melanjutkan vaksinasi, atau dinamakan immunological amnesia. Bahkan pada 2021 ada 132 kasus suspek, di 2022 ada 3.341 kasus," kata Anggraini, pekan lalu.
Anggraini pun meminta masyarakat mewaspadai gejala dan pemicu penularannya. Ia mengatakan, bila terinfeksi campak, virus akan masuk ke tubuh kemudian ke darah. Gejala campak tidak cukup di kulit saja, karena bisa juga muncul di mata, hingga saluran pencernaan.
"Yang paling buruk ke sistem imun, memang kalau dilihat kulitnya muncullah ruam setelah demam, dia punya tiga fase gejalanya," jelasnya dia.
Ia pun menjelaskan, fase tersebut dimulai dari ruam, mata memerah, kemudian mengalami batuk yang khas. Perlu diketahui, ketika seseorang terkena campak, 90 persen orang yang berinteraksi erat dengan penderita dapat tertular jika mereka belum memiliki kekebalan terhadap campak. Kekebalan terbentuk jika telah diimunisasi atau pernah terinfeksi virus campak sebelumnya.
Komplikasi dari campak yang dapat menyebabkan kematian adalah pneumonia (radang paru) dan ensefalitis (radang otak). Sekitar 1 dari 20 penderita campak akan mengalami komplikasi radang paru dan 1 dari 1.000 penderita akan mengalami komplikasi radang otak. Selain itu, komplikasi lain adalah infeksi telinga yang berujung tuli (1 dari 10 penderita), diare (1 dari 10 penderita) yang menyebabkan penderita butuh perawatan di RS.
In Picture: Alat Ukur Balita Antropometri Kit