Selasa 24 Jan 2023 07:33 WIB

Menggugat Revisi UU BPJS di RUU Kesehatan

Masyarakat mengkhawatirkan RUU Kesehatan akan dibahas secara instan

Sejumlah tenaga kesehatan dari berbagai organisasi profesi kesehatan melakukan aksi damai di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta,. Dalam aksinya mereka menolak RUU Kesehatan (Omnibus Law) dan mendesak pimpinan DPR agar RUU ini dikeluarkan dari prolegnas prioritas. (ilustrasi).
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah tenaga kesehatan dari berbagai organisasi profesi kesehatan melakukan aksi damai di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta,. Dalam aksinya mereka menolak RUU Kesehatan (Omnibus Law) dan mendesak pimpinan DPR agar RUU ini dikeluarkan dari prolegnas prioritas. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch/Sekjen OPSI-KRPI

Setelah membentuk UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dan UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dengan metode omnibus law, kembali DPR dan Pemerintah membahas RUU Kesehatan dengan menggunakan metode omnibus law. Sejumlah undang-undang akan dihapus dan direvisi dalam RUU Kesehatan ini. Seperti UU Cipta Kerja dan UU P2SK yang menuai penolakan, RUU Kesehatan ini pun dikritisi masyarakat.

Baca Juga

Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) menyatakan sikap menolak RUU Kesehatan ini dan mendesak RUU ini dikeluarkan dari Prolegnas DPR RI. Tidak hanya soal substasi, masalah formil pun akan menjadi masalah.

Pasal 96 UU No 13 Tahun 2022 tentang perubahan kedua UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan (PPP), mengamanatkan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses PPP, termasuk masyarakat berhak mendapatkan naskah akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundangundangan. Namun Naskah akademik dan naskah RUU Kesehatan yang beredar di masyarakat tidak diakui keberadaannya oleh Baleg DPR RI.

Masyarakat mengkhawatirkan RUU Kesehatan akan dibahas secara instan dan kurang melibatkan masyarakat, seperti yang terjadi di UU Cipta Kerja dan UU P2SK. Penolakan masyarakat akan direspon Pemerintah dengan kalimat, ”silahkan menjudicial review ke Mahkamah Konstitusi.”

BPJS menjadi BUMN

Dalam draft RUU Kesehatan, organ BPJS yaitu Direksi dan Dewan Pengawas (Dewas) di UU BPJS direvisi dengan signifikan. Hal ini berpotensi mengganggu pengelolaan jaminan sosial Kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan.

Pasal 7 ayat (2) RUU Kesehatan menyatakan BPJS bertanggung jawab kepada presiden melalui Menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan. Tidak hanya itu, Pasal 13 huruf (k) tentang tugas BPJS, RUU ini mewajibkan BPJS melaksanakan penugasan dari kementerian.

Konsekuensinya, di Pasal 13 huruf (l), BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala enam bulan sekali kepada Presiden melalui menteri terkait, dengan tembusan kepada DJSN. Dan mengacu pada Pasal 34 ayat (2) usulan pemberhentian Direksi BPJS dilakukan oleh menteri kepada presiden.

Pada UU BPJS, direksi dan Dewas BPJS bertanggungjawab langsung kepada presiden. Dan direksi maupun Dewas tidak bisa melaksanakan penugasan dari menteri. BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala enam bulan sekali langsung kepada Presiden, tanpa melalui menteri, dengan tembusan kepada DJSN.

Unsur Dewas pun mengalami perubahan komposisi di RUU Kesehatan. Pada Pasal 21 ayat (3) dan (4), komposisi Dewas BPJS dari unsur Pemerintah menjadi 4 orang, 1 orang unsur Pekerja, 1 orang unsur Pemberi Kerja, dan 1 orang unsur tokoh masyarakat. Pada UU BPJS, unsur Pemerintan hanya 2 orang, unsur pekerja 2 orang, unsur pemberi kerja 2 orang, dan 1 orang unsur tokoh masyarakat.

Penambahan jumlah Dewas dari unsur Pemerintah tersebut, disertai kontrol kuat menteri terhadap Dewas. Pasal 21 ayat (9) menyatakan Menteri dapat meminta laporan anggota Dewas dari unsur pemerintahan, dan mengusulkan penggantian (recall) terhadap anggota Dewas dari unsur pemerintahan kepada Presiden.

Dalam UU BPJS, menteri tidak bisa mengontrol apalagi mengusulkan pemberhentian direksi maupun merecall Dewas unsur Pemerintah, karena direksi dan Dewas bertanggung jawab langsung ke presiden. Pasal 28 mengamanatkan pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) BPJS dilakukan oleh menteri (Kesehatan atau Ketenagakerjaan) bersama Menteri Keuangan atas persetujuan presiden.

Menteri Kesehatan menjadi ketua Pansel BPJS Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan di BPJS Ketenagakerjaan. Ketentuan di UU BPJS, presiden membentuk pansel, dan ketua pansel bukan menteri.

Dari uraian di atas dengan sangat jelas RUU Kesehatan memposisikan direksi dan Dewas BPJS di bawah menteri, dan ini berarti mengembalikan BPJS seperti BUMN yang dikontrol oleh menteri. Dari proses pengangkaran hingga pemberhentian, semuanya dikendalikan menteri.

Status Badan Hukum Publik yang diamanatkan Pasal 7 ayat (1) akan menjadi bias dan hambar ketika kepentingan publik yang diwakili direksi dan Dewas BPJS dikendalikan menteri, dan juga berpotensi dikendalikan Partai Politik (dimana menteri-menteri tersebut berasal).

Pelaksanaan SJSN berdasarkan tiga asas, yang salah satunya adalah asas manfaat yaitu pengelolaan yang efisien dan efektif, akan sulit terlaksana. Demikian juga prinsip penyelenggaraan SJSN yaitu Prinsip Keterbukaan, Prinsip Kehati-hatian, Prinsip Akuntabilitas, Prinsip Dana Amanat, dan Prinsip Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial untuk Kesejahteraan Pekerja, akan terganggu dan mendukung penurunan manfaat bagi pekerja dan keluarganya.

Pengelolaan dana pekerja di BPJS Ketenagakerjaan yang saat ini sekitar Rp 630 triliun dan aset bersih dana JKN di BPJS Kesehatan yang sudah mencapai Rp 54,7 triliun, serta pendapatan iuran JKN mencapai Rp 143 triliun (per akhir Desember 2022), akan rawan digunakan untuk kepentingan lain di luar program jaminan sosial.

Kasus kegagalan investasi yang dialami BUMN asuransi seperti Jiwasraya dan PT ASABRI beberapa waktu yang lalu, harusnya menjadi acuan bagi Pemerintah dan DPR untuk tetap memposisikan direksi dan Dewas BPJS memiliki kewenangan penuh dan independen.

Kehadiran RUU Kesehatan menjadi antitesis perjuangan gerakan rakyat yang bernaung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), yang dengan tegas memperjuangkan lahirnya UU BPJS sebagai badan hukum publik dengan kewenangan dan tugas yang independen dan bertanggung jawab langsung ke presiden. RUU Kesehatan merupakan kemunduran besar bagi cita-cita perjuangan jaminan sosial yang berkualitas untuk rakyat Indonesia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement