REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA– Dalam Islam, jimak atau hubungan seks antara suami istri adalah salah satu bentuk ibadah yang bernilai pahala.
Tapi apa jadinya jika kegiatan ini dilakukan dengan intensitas yang tinggi atau dilakukan dengan sering? Bagaimana Islam memandangnya? Apakah ini masuk hal berlebih-lebihan?
Menanggapi ini, guru besar di Universitas Al-Azhar, Al Sharqawi mengatakan bahwa hukum Islami mengatur segala sesuatu yang menyangkut pribadi Muslim dan datang dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan insting manusia dan tidak berbenturan dengannya. Islam tidak menutup naluri, melainkan mengontrol dan mengaturnya.
Islam telah mengatur terkait masalah ini, seperti membuat beberapa larangan dan anjuran dalam berhubungan intim. Hal ini seperti larangan jimak saat haid, setelah melahirkan, ihram, iktikaf, puasa wajib.
Ada juga anjuran untuk mendatangi pasangan dengan membuatnya nyaman terlebih dahulu, tidak tiba-tiba seperti kuda jantan.
Dilansir dari Masrawy, Kamis (26/1/2023), Al Sharqawi menjelaskan bahwa dalam syariat tidak ada ketentuan berapa kali berhubungan badan secara khusus, karena itu berbeda-beda menurut situasi dan kemampuan orang.
Dia juga menambahkan bahwa jimak adalah hak bagi istri dan kewajiban bagi suami jika tidak memiliki udzur.
Meski tidak diatur jumlahnya, Islam mengajarkan untuk memperlakukan wanita dengan cara yang baik. Suami dilarang untuk membebani istrinya dengan hal yang di luar kemampuannya. Allah SWT berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ Artinya: "Dan bergaullah dengan mereka secara patut." (QS An-Nisa ayat 19).
Dia juga menyebut jimak yang sering tidak termasuk hal berlebih-lebihan, asalkan tidak mengakibatkan kerugian fisik atau moral terhadap salah satu atau kedua pasangan, atau hilangnya hak atau kewajiban. Setiap pasangan bisa mendatangi pasangannya tanpa merugikan diri atau orang lain dan tanpa menyebabkan kelalaian untuk ibadah kepada Allah SWT.