REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muktamar Internasional Fikih Peradaban I yang diinisiasi NU menjelang resepsi puncak peringatan Satu Abad NU bakal digelar di Hotel Shangri-La Surabaya, Jawa Timur, pada Senin (6/2/2023). Forum ini menghadirkan 15 pakar sebagai pembicara kunci, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.
Kelima belas pemaparan para mufti dan ahli hukum Islam tersebut mengulas berbagai persoalan kontemporer dari susut pandang Islam, mulai dari format negara-bangsa, relasi dengan non-muslim, hingga tata politik global. Salah satunya pembahasan tentang posisi Piagam PBB di mata syariat Islam.
Urgensi pembahasan
Najib Azca dari Tim Pengelola Materi Muktamar Internasional Fikih Peradaban I menjelaskan urgensi forum akbar ini membincangkan pandangan syariat terhadap piagam PBB setidaknya pada dua arah di lingkungan internal umat Islam dan di lingkungan pergaulan internasional.
Pada aras pertama, Muktamar Fikih Peradaban I merupakan ajakan dan dorongan kepada para ulama dan fuqaha untuk membangun konstruksi fiqhiyyah yang solid dan diterima luas perihal legitimasi syariah bagi konstruksi negara-bangsa dan kesepakatan negara-bangsa dalam bentuk kelembagaan dan piagam PBB.
"Hal ini penting dilakukan karena perbincangan perihal tersebut absen dalam kanon-kanon fiqih yang ditulis para ulama yang memang sebagian besar disusun pada masa konstruksi politik berbasis khilafah," kata Wakil Sekjen PBNU ini, Sabtu (4/2/2023), dalam siaran persnya.
Pada aras kedua, sambungnya, ajakan dan dorongan untuk menengok dan memperkuat legitimasi terhadap Piagam PBB merupakan bagian dari ikhtiar untuk memperkuat multilateralisme dalam pergaulan internasional.
"Belakangan ini terjadi penguatan terhadap pendekatan unilateralisme di mana krisis politik antar negara diselesaikan secara unilateral, seperti perang Irak, Afghanistan, juga Rusia-Ukraina yang masih terjadi hingga kini," papar Najib.
Menurutnya, langkah yang diambil PBNU ini bisa dilihat sebagai bagian dari ikhtiar besar memperkuat multilateralisme dalam resolusi konflik dan penyelesaian krisis dalam pergaulan internasional.
Mencari pijakan
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengatakan pembicaraan tentang tata dunia damai baru muncul setelah Perang Dunia II dengan lahirnya Piagam PBB. Sebelum itu, masyarakat dunia masih diliputi sektariaisme yang syarat konflik, termasuk di internal umat Islam sendiri.
Menurutnya, apabila hendak mengembangkan wacana syariat tentang perdamaian dan toleransi maka harus bermuara dari Piagam PBB. Untuk itulah, hal pertama yang harus disepakati adalah soal kejelasan kedudukan Piagam PBB di mata syariat.
“Ini perjanjian sah atau tidak (di mata syariat)? Karena ini perjanjian di antara pemimpin-pemimpin politik. Kalau ini sah di mata syariat, ini urusan pertimbangan fikih, dengan disiplin yang sangat kompleks. Tapi rumusan itu yang bisa dijadikan pijakan dan mengikat bukan hanya bagi anggota PBB, tapi bagi warga negara masing-masing,” ucap Gus Yahya di Jakarta, Rabu (1/2/2023).
Kalau dinyatakan sah oleh para ulama dunia di Muktamar Internasional Fikih Peradaban I, maka Piagam PBB itu akan menjadi pijakan untuk mengembangkan wacana yang lebih lugas dalam kerangka syariat Islam tentang perdamaian, toleransi, dan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) universal.
“Karena kalau kita tengok referensi abad pertengahan, tidak ada juga HAM universal. Kafir dzimmi itu dilindungi tapi tetap warga negara kelas dua. Di Inggris, orang-orang Anglikan dari Irlandia menjadi warga negara kelas dua. Mereka tidak bisa jadi pegawai negeri, kalau tentara mentok hanya jadi sersan,” ucap Gus Yahya.