REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA — Transformasi Balitbang Diklat Kementerian Agama menjadi Badan Moderasi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) masih memiliki dwi fungsi, yaitu fungsi pendidikan dan fungsi agama. Perubahan nomenklatur tersebut sesuai Perpres nomor 12 tahun 2023.
Kepala Badan (Kaban) Litbang dan Diklat Kemenag Prof Suyitno mengibaratkan dwi fungsi tersebut sebagai dapur dan bengkel. “Dua fungsi yang dimaksud adalah sektor pertama sebagai ‘dapur’ dan sektor kedua sebagai ‘bengkel’,” ujarnya pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Agama tahun 2023.
“Balitbang Diklat sebagai dapur tempat memasak, menggodok, dan mengawal kebijakan hingga bisa digunakan eselon I lainnya. Fungsi kedua sebagai bengkel untuk menyervis, mendandani, dan memperbaiki Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bermasalah dengan kompetensinya,” papar Kaban Suyitno di Surabaya, Ahad (05/02/2023).
Lebih lanjut, dia mengatakan hasil Indeks Profesionalitas dan Moderasi Beragama ASN Kemenag hanya sekitar 60%. “Maka sisanya 40% menjadi tugas besar Balitbang Diklat untuk meningkatkan kompetensinya,” katanya.
Lebih banyak berkontribusi
Outlook Kementerian Agama 2023 yang dirumuskan Balitbang Diklat bersama unit eselon I lainnya diberi judul Menyintas di Tengah Badai. Dari outlook itu, Balitbang berharap dapat lebih banyak memberikan kontribusi untuk menyelesaikan problem ASN di internal Kemenag dan juga menguatkan moderasi beragama.
Kaban Suyitno mengatakan dalam outlook tersebut dijelaskan pemetaan kemungkinan politisasi agama, konflik rumah ibadah, dan indeks kerukunan umat beragama di berbagai daerah. “Kita dapat melihat mana yang trennya rendah di aspek komitmen kebangsaan, mana yang rendah di toleransi, mana yang anti kekerasan, dan mana yang ada adaptif terhadap budaya lokal,” katanya.
Kaban mengungkapkan bahwa selama ini diseminasi penguatan moderasi beragama ke berbagai generasi telah menggunakan berbagai media. Menariknya, untuk generasi milenial, ternyata pendekatan diskusi masih rendah.
“Bicara moderasi beragama, pola diskusi dan workshop sudah tidak relevan. Jangan sampai seminarnya sudah berbuih-buih, ternyata di luar sana orang sudah demikian masifnya mengarahkan untuk bertindak intoleran,” ucap Kaban.
Selain itu, Kaban juga menyinggung soal Indeks Kesalehan Sosial. Indeks ini memotret bahwa hampir semua agama di Indonesia masih rendah dalam hal melestarikan lingkungan, artinya masih rendah dalam merespons go green.
“Dalam konteks perubahan iklim, jangan sampai Kemenag yang mayoritas orang yang beragama bersikap no respon atau slow respon. Kesalehan sosial bukan semata-mata menggaungkan peribadatan, tetapi juga kepedulian terhadap lingkungan,” tandas Kaban.