REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, turunnya indek persepsi korupsi (IPK) bukan semata-mata merupakan kesalahan aparat penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Polri. Justru, turunnya IPK disebabkan oleh pemerintah yang berkaitan langsung dengan eksekutif.
Wakil Ketua MPR itu mengacu kepada laporan Transparency International Indonesia (TII), yang memuat tiga kategori adanya penurunan, yakni Political Risk Service (PRS) International Country Risk Guide, Global Insight Country Risk Ratings, dan IMD World Competitiveness Yearbook. Ketiga kategori tersebut bersinggungan langsung dengan pemerintahan.
"Turun yang tiga ini turun cukup tajam, nah saya berharap Pak Ketua KPK ini harus dijelaskan kepada publik bahwa persoalan penurunan indeks persepsi korupsi itu juga terkait perilaku rumpun kekuasaan eksekutif secara keseluruhan," ujar Arsul dalam rapat kerja dengan KPK di gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (9/2/2023).
Contohnya adalah IMD World Competitiveness Yearbook dari 44 menjadi 39. Indeks atau kategori tersebut sama sekati tak membicarakan penegakan hukum, melainkan berkaitan dengan tentang efisiensi pemerintahan dan bisnis.
"Rumpun kekuasaan penyelenggara negara secara keseluruhan, baik eksekutif, yudikatif, dan legislatif, tapi terutama yang di eksekutif dan ini yang menyebabkan justru turun banyak," ujar Arsul.
Bahkan, Arsul menyinggung salah satu menteri yang pernah melontarkan pernyataan agar tak lagi adanya operasi tangkap tangan (OTT). Mungkin saja, sambung dia, pernyataan tersebut menjadi penilaian TII terkait indeks persepsi korupsi di Indonesia.
"Jadi yang ingin saya sampaikan, kita juga harus adil bahwa setiap IPK turun kemudian urusan KPK, Kejaksaan Agung, polisinya tidak kerja melakukan pemberantasan korupsi, nah ini harus fair juga kita. Padahal persoalannya ada di luar penegak hukum itu tadi," ujar Arsul.
"Walaupun saya bagian dari koalisi pemerintahan, tapi ini persoalan turunnya indeks persepsi korupsi itu ada justru di lingkaran pemerintahan, ini juga harus disampaikan secara terbuka," kata Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menambahkan.
TII merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 yang mengacu pada delapan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik pada 180 negara dan teritori. Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.
Menurut TII, Indonesia hanya mampu menaikkan skor IPK sebanyak dua poin dari skor 32 selama satu dekade terakhir sejak 2012. Pada 2021, skor IPK Indonesia adalah 38 dengan peringkat 96. Hasilnya IP Indonesia pada 2022 melorot empat poin menjadi 34 dari sebelumnya 38 pada 2021 atau berada di posisi 110 dari 180 negara yang disurvei.