Jumat 10 Feb 2023 16:08 WIB

Jabar Kekurangan Biaya Operasional Pendidikan Rp 599,8 Miliar

BOPD diarahkan untuk memprioritaskan membiayai kebutuhan operasional minimal.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Kadisdik Jabar, Dedi Supandi
Foto: Istimewa
Kadisdik Jabar, Dedi Supandi

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pemprov Jawa Barat melalui Dinas Pendidikan (Disdik) Jabar berupaya memuluskan target anggaran Biaya Operasional Pendidikan Daerah (BOPD) sekitar Rp 1,5 triliun pada tahun 2023 ini. Dalam APBD murni 2023, BOPD telah disahkan Rp 933 miliar dengan perhitungan untuk 9 bulan setelah disahkan DPRD Jabar. 

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Dedi Supandi, anggaran BOPD sebesar Rp 933 miliar tahun 2023 ini telah diputuskan untuk operasional selama sembilan bulan sejak APBD murni disahkan pada Januari 2023 lalu. 

Baca Juga

"Jika saat ini (APBD Murni) sebesar Rp 933 miliar, berharap di (anggaran) perubahan dapat disahkan 599,8 miliar. Sehingga target dapat tercapai untuk BOPD 2023," ujar Dedi Supandi, Jumat (10/2). 

Pemprov Jabar, kata dia, akan terus melakukan koordinasi dan melakukan pengajuan kembali pada APBD perubahan kepada DPRD Jabar melalui Tim Anggaran Pemerintah Daerah terkait BOPD 2023. Apalagi, BOPD tidak sekadar pendamping Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tapi juga membebaskan peserta didik dari kewajiban membayar iuran atau SPP.

"Pemprov Jabar akan terus melakukan koordinasi dan melakukan pengajuan kembali kepada DPRD agar dapat menerima tambahan APBD Perubahan sesuai pengajuan awal secara total yaitu Rp1,5 triliun pada 2023," katanya. 

Dedi mamastikan, pihaknya akan terus melakukan evaluasi pada BOPD sebagai kebijakan Pemprov Jabar yang telah ada sejak Juni 2019 ini. Hal itu dilakukan, untuk mendorong prinsip berkeadilan di sektor pendidikan Jabar. 

Menurut Dedi, pada September 2022 lalu, pihaknya telah melakukan riset dan evaluasi. Riset evaluasi ini diisi oleh keterwakilan sekolah negeri sebanyak 340 sekolah berpartisipasi melalui kuesioner yang selanjutnya dilakukan riset pendalaman terhadap 33 sekolah secara lebih lanjut.

Hasil dari survei awal, kata dia, menunjukan bahwa ada beban administrasi yang cukup rumit dalam BOPD. Yakni, mulai dari perencanaan, pengajuan, pelaporan, waktu pendek.

"Hasil juga menunjukan bahwa BOPD sangat diandalkan untuk menggaji guru non-PNS. Sekolah bebannya berat sehingga tidak memiliki tenaga untuk mengurusi hal administratif BOPD," katanya. 

Berkaca dari hasil riset serta evaluasi tersebut, kata Dedi, maka ada beberapa hal yang harus dikaji. Di antaranya mengubah formula transfer dari per siswa, menjadi fiscal gap. Juga, persempit peruntukan BOPD hanya untuk yang prioritas. 

Dedi menegaskan, pihaknya juga tidak ingin tejadi ketidakadilan pada distribusi BOPD. Maka tindak lanjut yang diproses dinas pendidikan, yaitu Pembahasan Juknis dipisahkan untuk setiap jenis sekolah (SMA/SMK/SLB) untuk tahun anggaran ke depan. Perlu mendefinisikan kebutuhan operasional minimal untuk setiap jenis sekolah.

Ke depan, kata dia, BOPD diarahkan untuk memprioritaskan membiayai kebutuhan operasional minimal. Yakni, kebutuhan dasar untuk berjalannya aktivitas sekolah. Perumusan kebutuhan operasional difasilitasi Dinas Pendidikan dan dapat melibatkan pengawas dan kepala sekolah. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement