REPUBLIKA.CO.ID, CHISINAU -- Pemerintah Moldova yang pro-Barat mengundurkan diri pada Jumat (10/2/2023) setelah berkuasa selama 18 bulan. Pengunduran diri ini disebabkan oleh gejolak ekonomi dan efek limpahan dari invasi Rusia di Ukraina.
Presiden Maia Sandu menerima pengunduran diri Perdana Menteri Natalia Gavrilita. Sandu kemudian menunjuk mantan menteri dalam negeri Dorin Recean untuk menggantikan Gavrilita. Recean mengatakan, dia akan melanjutkan upaya Moldova untuk bergabung dengan Uni Eropa dan menghidupkan kembali ekonomi negaranya.
"Pemerintah baru akan memiliki tiga prioritas yaitu ketertiban dan disiplin, kehidupan dan ekonomi baru, serta perdamaian dan stabilitas," kata Recean.
Sandu berterima kasih kepada pemerintahan Gavrilita atas upaya mereka dalam menangani banyak krisis.
"Terlepas dari tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, negara ini diperintah secara bertanggung jawab, dengan banyak perhatian dan kerja keras. Kami memiliki stabilitas, perdamaian, dan pembangunan di mana pihak lain menginginkan perang dan kebangkrutan," ujar Sandu.
Gavrilita menjadi perdana menteri pada Agustus 2021 setelah Partai Aksi dan Solidaritas pro-Eropa mendapatkan suara mayoritas di parlemen dengan mandat untuk memberantas korupsi. Para pemimpin Uni Eropa menerima Moldova sebagai calon anggota tahun lalu. Pemerintah telah memetakan reformasi untuk mempercepat akses ke Uni Eropa dan bekerja untuk mendiversifikasi pasokan energinya.
Moldova menghadapi inflasi yang melonjak dan berjuang untuk mengatasi masuknya pengungsi Ukraina. Moldova juga mengalami pemadaman listrik setelah serangan Rusia terhadap fasilitas energi Ukraina, dan berjuang untuk mengakhiri ketergantungannya pada gas Rusia.
Kenaikan harga yang tajam menyebabkan protes jalanan tahun lalu. Para demonstran menyerukan pemerintah dan Sandu untuk mengundurkan diri. Protes ini diorganisir oleh partai politisi oposisi yang diasingkan, Ilan Shor. Protes ini menandai tantangan politik paling serius bagi Sandu sejak kemenangan telaknya dalam pemilu 2020 yang mengusung platform pro-Eropa dan antikorupsi.
Pemerintah Moldova menggambarkan protes itu sebagai bagian dari kampanye yang disponsori Kremlin untuk mengacaukan pemerintah. Analis politik dari Institute for European Policies and Reforms di Chisinau, Iulian Groza, mengatakan perombakan pemerintah dimaksudkan untuk menghidupkan kembali kabinet.
"Pemerintah ini telah bekerja dalam lingkungan manajemen krisis selama lebih dari satu setengah tahun," kata Groza.
Groza yang merupakan mantan wakil menteri luar negeri memperkirakan, kabinet baru akan diajukan ke parlemen akhir pekan depan. Sementara tantangan pemerintah baru Moldova yaitu berurusan dengan upaya Rusia untuk menggoyahkan republik kecil bekas Soviet itu, yang berbatasan dengan Ukraina dan anggota Uni Eropa, Rumania.
Rusia memiliki pasukan di wilayah Transdniestria yang memisahkan diri dari Moldova. Rusia telah menghadapi kemungkinan bahwa Moldova akan bergabung dengan Uni Eropa.
Ketegangan semakin meningkat pada Jumat ketika Moldova mengatakan sebuah rudal Rusia telah melanggar wilayah udara negara itu sebelum mengenai Ukraina. Moldova memanggil duta besar Rusia untuk melayangkan memprotes.