REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Tanaman bambu memiliki bentuk dan ukuran yang sangat berbeda, dari yang berukuran batang kecil hingga yang berukuran tinggi mencapai 30 meter. ''Uniknya bagi Indonesia, kita adalah rumah bagi jenis yang paling umum di antara komunitas bambu ini, yaitu bambu tropis yang cenderung memiliki batang yang lebih tebal daripada bambu lain dengan batang lebih ramping dan akar yang menyebar," kata Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,Sarwono Kusumaatmaja, dalam sebuah diskusi tentang bambu di Jakarta, pada awal Februari 2023.
Atas potensi dan manfaat bambu yang sangat banyak tersebut, maka sudah sepantasnya Indonesia memasukkan bambu sebagai tanaman penting yang perlu mendapatkan perhatian serius agar populasinya tetap terjaga.
Langkah untuk menjadikan bambu sebagai solusi alam, memitigasi perubahan iklim, perlu kolaborasi berbagai pemangku kepentingan. Hal ini tak cukup hanya dilakukan oleh pemerintah pusat ataupun lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang kelestarian lingkungan saja, melainkan juga harus melibatkan pemerintah daerah, pemerintah desa, hingga masyarakat sebagai komponen akar rumput.
Sarwono Kusumaatmaja yang pernah menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup (1993-1998) mengungkapkan Indonesia pernah menjadi tuan rumah Kongres Bambu Internasional ke-empat di Bali pada tahun 1995.
Sebagai tindak lanjut dari konferensi internasional tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup menyusun semacam naskah tentang pengembangan strategis bambu yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Regulasi yang telah berusia hampir tiga dekade tersebut masih belum ditinjau kembali dan diperkaya isinya. Padahal berbagai perubahan telah terjadi dalam rentang waktu yang panjang tersebut.
Analis Kerja Sama Teknis Standarisasi dari Pusat Standarisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,Desy Ekawati, mengatakan mitigasi perubahan iklim adalah tanggung jawab lintas sektor untuk menyelamatkan planet bumi dari ancaman buruk pemanasan global yang menimbulkan berbagai bencana alam, mulai dari kenaikan muka air laut, suhu yang lebih panas, perubahan cuaca secara signifikan, mengganggu suplai makanan, hingga menimbulkan berbagai penyakit baru.
Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memanfaatkan bambu untuk menurunkan gas rumah kaca. Wilayah itu telah memproduksi 2,5 juta bibit bambu dan menanam bambu pada lahan seluas 1.300 hektare sebagai upaya mendukung program Indonesia's FOLU Net Sink 2030 yang digagas oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui agroforestri bambu.
Yayasan Bambu Lestari sempat menghitung, jika agroforesti bambu bisa berjalan di tujuh provinsi untuk merestorasi lahan kritis yang ada pada sepadan sungai seluas 300 ribu hektare, maka bambu mampu memberikan nilai valuasi yang cukup besar mendekati angka Rp 10 triliun dalam waktu enam tahun sejak penanaman dengan investasi awal hanya sebesar Rp 3 triliun.
Bila melihat letak geografis dan astronomis Indonesia, maka bambu punya potensi untuk dikembangkan dengan garis besar melakukan mitigasi perubahan iklim. Namun, di satu sisi, tanaman berumpun tersebut juga bisa memberikan manfaat ekonomi melalui berbagai produk olahan dari pangan, sandang, hingga papan, agrowisata sampai seni.