Kamis 16 Feb 2023 16:50 WIB

Bawaslu Nilai Utang Rp 50 M Anies di Pigub DKI Pelanggaran, Ini Respons Hendri Satrio

Polemik isu utang-piutang Anies dan Sandi masih bergulir hingga kini.

Rep: Wahyu Suryana, Febryan A/ Red: Andri Saubani
Pendiri lembaga survei KedaiKopi, Hendri Satrio, menjelaskan posisi utang Rp.50 juta Anies ke Sandiaga Uno, dalam jumpa pers, Selasa (7/2/2023)
Foto: joko sadewo
Pendiri lembaga survei KedaiKopi, Hendri Satrio, menjelaskan posisi utang Rp.50 juta Anies ke Sandiaga Uno, dalam jumpa pers, Selasa (7/2/2023)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik isu utang-piutang antara Anies Baswedan dan Sandiaga Uno di Pilgub DKI 2017 masih terus bergulir hingga kini. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun menilai masalah utang-piutang itu semestinya menjadi dugaan pelanggaran dalam pilkada.

Perwakilan Tim Anies, Hendri Satrio mengatakan, persoalan utang-piutang itu sudah selesai dan sudah berlalu. Tidak cuma Pilgub DKI 2017 yang sudah berlalu, Anies Baswedan sudah tidak lagi menjabat Gubernur DKI Jakarta karena jabatannya sudah selesai.

Baca Juga

"Anies ini sebetulnya menggambarkan hal-hal yang sesungguhnya terjadi kepada orang-orang yang kaya ide," kata Hendri kepada Republika, Kamis (16/2/2023).

Sebab, ia mengingatkan, Anies Baswedan memang hadir bermodalkan ide dan gagasan untuk maju dalam Pilgub DKI 2017. Tapi, Hendri menuturkan, karena tidak memiliki uang, keterbatasan logistik pula, maka membutuhkan banyak dukungan masyarakat.

Hendri menekankan, jangan sampai orang-orang yang penuh dengan ide dan gagasan tapi tidak memiliki uang tidak dibolehkan meminjam uang. Serta, tidak bisa mendapat dukungan-dukungan lain dari masyarakat dan tidak bisa maju ke pilkada.

Terbukti, ia menerangkan, masyarakat Jakarta banyak yang membantu Anies dan akhirnya bisa maju dan memang. Ia merasa, soal pelanggaran atau tidak sudah ada aturan jelas, cuma perlu jelas apakah ini dari satu sumber atau banyak sumber.

Meski begitu, ia mengaku tidak ingin masuk ke pembahasan itu. Intinya, lanjut Hendri, bagaimana seorang rakyat biasa yang penuh dengan ide dan gagasan tapi tidak memiliki uang, dengan dukungan masyarakat akhirnya bisa maju dan menang.

"Pertanyaannya, apakah orang orang beride yang tidak punya uang ini tidak bisa maju ke pilkada karena hambatan uang," ujar Hendri.

Sebelumnya, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan, penerimaan dana Rp 50 miliar itu merupakan pelanggaran karena melampaui batas maksimal sumbangan dana kampanye yang boleh diterima calon kepala daerah. Untuk diketahui, UU Pilkada memperbolehkan calon kepala daerah menerima sumbangan dana kampanye dari perseorangan maksimal Rp 75 juta, sedangkan dari swasta maksimal Rp 750 juta. 

Anies sendiri mengakui bahwa pemberi pinjaman tidak mengharuskannya membayar utang tersebut apabila menang dalam Pilgub DKI 2017. Anies nyatanya menang. Artinya, Anies mendapatkan sumbangan dana kampanye Rp 50 miliar.

"Itu seharusnya bermasalah, seharusnya itu pelanggaran pidana. Itu pidana karena dia tidak menyebutkan itu di laporan akhir dana kampanye," kata Bagja kepada Republika, Selasa (14/2/2023) malam. 

Bagja menjelaskan, meski sumbangan dana Rp 50 miliar itu merupakan pelanggaran ketentuan dana kampanye, tapi perkara ini sulit diusut. Sebab, Pilkada 2017 sudah selesai, bahkan Anies sudah selesai menjabat sebagai gubernur DKI sejak tahun 2022 lalu. 

"Biasanya kalau pilkadanya sudah selesai, ya tidak bisa diusut. Kecuali (pelanggaran dana kampanye ini) ditemukan di awal-awal masa jabatan. Ini kan sudah selesai masa jabatannya, baru muncul. Aneh juga baru muncul sekarang, inilah repotnya kita ini," ujar Bagja. 

 

photo
Manuver Surya Paloh antara Anies dan Jokowi. - (Republika/berbagai sumber)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement