Jumat 17 Feb 2023 07:28 WIB

KemenPPPA Geram Pedagang Latto-Latto Cabuli Puluhan Anak SD

Korban pencabulan diduga sebanyak 21 anak berasal dari satu sekolah yang sama.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar
Foto: Pribadi
Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) geram dengan terjadinya kekerasan seksual pencabulan terhadap puluhan siswi SD di Banyuwangi, Jawa Timur. Tindakan itu dilakukan oleh terduga pelaku MM yang merupakan penjual mainan latto-latto. 

Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar menegaskan kekerasan seksual adalah kejahatan yang tidak bisa ditoleransi oleh apapun. Sehingga pelakunya selayaknya mendapat hukuman berat sesuai UU yang berlaku. 

Baca Juga

"Apalagi dalam kasus ini, terduga pelaku diinformasikan telah melakukan perbuatannya selama satu bulan yang berarti dia berulang-ulang melakukan kejahatan terhadap anak-anak yang tengah membeli mainan," kata Nahar dalam keterangannya, Kamis (16/2). 

 

photo
Penjualan mainan lato-lato (Ilustrasi) (Yusuf Assidiq)

 

Nahar mengatakan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Banyuwangi segera melakukan pendampingan dan asesmen terhadap para korban. Polsek Banyuwangi juga telah menahan dan menetapkan terduga pelaku sebagai tersangka. 

Nahar menyebut, korban pencabulan diduga sebanyak 21 anak berasal dari satu sekolah yang sama. Namun yang melapor baru dua korban. Sedangkan empat korban sudah menjalani pemeriksaan polisi. 

"Polisi terus melakukan penyelidikan mendalam terhadap tersangka untuk mengetahui kemungkinan korban lain mengingat tersangka berdagang keliling di lingkungan sekolah yang berbeda-beda," ucap Nahar.   

Tersangka dijerat pasal 82 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan dapat ditambah sepertiga dari ancaman pidana. 

Selain dikenai pidana penjara, berdasarkan pasal 82 ayat (5) dan (6): pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku dan dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Ke depannya, Nahar berharap, ada upaya pencegahan agar kasus serupa tidak berulang baik dari pihak sekolah dan orang tua siswa untuk terus mengingatkan siswa agar tidak mudah terbujuk orang asing. 

"Sekolah juga diminta agar melakukan penanganan dengan cara yang tepat terhadap para korban agar tidak menjadi korban lagi karena adanya stigma negatif di sekolah. Sekolah berperan besar guna turut memulihkan siswa dari dampak psikis akibat kekerasan yang dialaminya," ucap Nahar. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement