REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VII DPR Adian Napitupulu menilai, penawaran perdana saham (initial public offering/IPO) PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) bukan merupakan upaya privatisasi BUMN migas tersebut.
"Secara logika, dengan menjadi emiten, tentu kinerja, transparansi, dan efisiensi PGE akan meningkat. Jika ada yang mengkaitkan IPO PGE ini seolah sebuah langkah privatisasi, tentu itu tidak tepat karena yang dilepas tidak lebih dari 25 persen," katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (17/2/2023).
Oleh karena itu, menurut dia, tidak tepat jika ada beberapa pihak yang menyebutkan IPO PGE seolah penjualan aset negara pada swasta, sehingga kemudian melakukan penolakan. Adian menilai upaya-upaya penolakan IPO PGE tersebut terlalu berlebihan, bahkan bisa saja ditumpangi kepentingan yang ingin mendiskreditkan BUMN ataupun pemerintah menuju 2024.
Untuk itu, dia mengajak masyarakat lebih objektif sehingga tidak mudah disulut dengan isu privatisasi yang tidak logis. Apalagi, terdapat beberapa poin yang jika dicermati dengan akal sehat, justru memperlihatkan bahwa IPO PGE memang positif.
Menurut dia, hal positif tersebut, yakni jumlah saham yang dilepas hanya 25 persen atau tidak sampai setengah. Komposisi tersebut menunjukkan, pemegang saham mayoritas masih tetap berada di tangan Pertamina.
Dengan demikian, menurut dia, seluruh garis kebijakan organisasi juga tetap di bawah kendali Pertamina yang notebene badan usaha milik negara. "Logikanya saja, bagaimana mungkin publik sebagai pemilik 25 persen saham, bisa mengambil alih dari Pertamina yang masih memiliki mayoritas saham, yaitu 75 persen? Tolong tunjukkan hitung-hitungannya kalau memang 25 persen bisa mengambil alih yang 75 persen," katanya.
Kemudian, prinsip transparansi bersifat mandatori bagi emiten, lanjutnya, dengan prinsip tersebut, tidak ada celah bagi PGE untuk menutup-nutupi atau merekayasa laporan keuangan. Artinya, semua serba-fair. Setiap transaksi akan terlihat dan diawasi, menurut dia, jika terdapat upaya kecurangan, tentu bisa dengan mudah terbaca oleh publik.
Selain itu, dia menjelaskan, perusahaan yang bergerak di sektor panas bumi, yang notabene merupakan backbone energi baru dan terbarukan (EBT), PGE membutuhkan dana tidak sedikit, yang salah satu sumber pendanaan tersebut melalui IPO. "Jangan lupa bahwa dengan IPO, PGE tidak perlu membayar kewajiban pembayaran utang. Yang dilakukan hanya sharing keuntungan dengan investor," ujarnya.
Keempat, perusahaan panas bumi yang beroperasi di Indonesia tidak hanya PGE, tetapi ada juga perusahaan swasta lainnya dengan total pengusahaan tidak kurang dari 49 perusahaan, termasuk perusahaan swasta. "Dari data itu, isu swastanisasi tentu semakin tidak berdasar karena perundang-undangan memang membuka peluang bagi pihak swasta untuk mengelola panas bumi tidak hanya saham," katanya.