REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dicky Chresthover Pelupessy menjelaskan bahwa fenomena de-influencing yang mulai marak di media sosial terjadi karena kekuatan dari seorang influencer untuk mengajak pengikutnya melakukan sesuatu. Apa penyebab influencer tergerak de-influencing?
"Media sosial itu kan awalnya kita pakai untuk berinteraksi, tapi lama-kelamaan kan dia menjadi sebuah media ekonomi, untuk mengiklankan, jualan dan sebagainya," kata Dicky yang juga wakil dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, kepada Antara, Rabu (22/2/2023).
Influencer punya kekuatan dari jumlah orang yang jadi followers. Seorang influencer yang memiliki jumlah pengikut banyak akan dianggap kredibel oleh masyarakat sehingga dia pun bisa menggunakan kredibilitasnya tersebut untuk mengajak pengikutnya melakukan sesuatu.
Dalam bahasa psikologi, menurut Dicky, ini dikenal sebagai persuasi. Untuk mempersuasi itu ada beberapa hal yang jadi faktor penting, utamanya kredibilitas.
"Kredibiltas itu bisa bermacam-macam, bisa karena kepakaran, kehebatan, nama keluarga, dan lain-lain, tetapi sebenarnya kalau kita lihat dari media sosial, kredibilitas itu dimiliki oleh seseorang biasanya dari jumlah followers," tutur Dicky.
Namun, saat ini para influencer pun tak hanya mempromosikan produk yang bisa dibeli oleh masyarakat. Kemunculan fenomena de-influencing ini adalah tindakan dari para influencer untuk meyakinkan pengikutnya agar tidak membeli sesuatu.