REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa Sya’ban adalah puasa yang dilakukan di bulan Sya’ban, satu bulan sebelum Ramadhan. Hukum puasanya sunnah, berdasarkan beberapa hadits shahih dari Nabi Muhammad saw.
Beberapa di antaranya adalah dua hadits berikut:
ุนููู ุนูุงุฆูุดูุฉู ุฑูุถููู ุงูููู ุนูููููุง ููุงููุชู: ููุงูู ุฑูุณูููู ุงูููู ุตููููู ุงูููู ุนููููููู ููุณููููู ู ููุตููู ู ุญูุชููู ููููููู: ููุง ููููุทูุฑูุ ููููููุทูุฑู ุญูุชููู ููููููู: ููุง ููุตููู ู. ููู ูุง ุฑูุฃูููุชู ุฑูุณูููู ุงูููู ุตููููู ุงูููู ุนููููููู ููุณููููู ู ุงุณูุชูููู ููู ุตูููุงู ู ุดูููุฑู ููุทูู ุฅููููุง ุฑูู ูุถูุงููุ ููู ูุง ุฑูุฃูููุชููู ููู ุดูููุฑู ุฃูููุซูุฑู ู ููููู ุตูููุงู ูุง ููู ุดูุนูุจูุงูู. (ู ูุชูููููู ุนูููููููุ ููุงููููููุธู ููู ูุณูููู ู)
Artinya, “Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ia berkata: ‘Rasulullah saw sering berpuasa sehingga kami katakan: ‘Beliau tidak berbuka’; beliau juga sering tidak berpuasa sehingga kami katakan: ‘Beliau tidak berpuasa’; aku tidak pernah melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan; dan aku tidak pernah melihat beliau dalam sebulan (selain Ramadhan) berpuasa yang lebih banyak daripada puasa beliau di bulan Sya’ban’.” (Muttafaqun ‘Alaih. Adapun redaksinya adalah riwayat Muslim).
ุนููู ุนูุงุฆูุดูุฉู ุฑูุถููู ุงูููู ุนูููููุง ููุงููุชู: ... ููุงูู ููุตููู ู ุดูุนูุจูุงูู ูููููููุ ููุงูู ููุตููู ู ุดูุนูุจูุงูู ุฅููุงูู ููููููุงู. (ุฑูุงู ู ุณูู )
Artinya, “Diriwayat dari ‘Aisyah ra, ia berkata: ‘… Rasulullah saw sering berpuasa Sya’ban seluruhnya; beliau sering berpuasa Sya’ban kecuali sedikit saja’.” (HR Muslim).
Berdasarkan pernyataan Imam an-Nawawi, para ulama menjelaskan hadits kedua “Beliau sering berpuasa Sya’ban kecuali sedikit saja” adalah merupakan penjelas bagi redaksi pertama, yaitu “Rasulullah saw sering berpuasa Sya’ban seluruhnya”. Maksudnya, redaksi kedua itu menjelaskan, maksud Rasulullah saw sering berpuasa Sya’ban seluruhnya adalah berpuasa pada sebagian besarnya. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû’ Syarhul Muhaddzab, juz VI, h. 386).
Selain itu, ada hadits yang mengharamkan puasa pada separuh kedua bulan Sya’ban, yaitu:
ุนููู ุฃูุจูู ููุฑูููุฑูุฉู ุฑูุถููู ุงูููู ุนููููู: ุฃูููู ุฑูุณูููู ุงูููู ุตููููู ุงูููู ุนููููููู ููุณููููู ู ููุงูู: ุฅูุฐูุง ุงูููุชูุตููู ุดูุนูุจูุงูู ููููุง ุชูุตููู ููุง. (ุฑูููุงูู ุงูููุฎูู ูุณูุฉู)
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, sungguh Rasullah saw bersabda: ‘Ketika Sya’ban sudah melewati separuh bulan, maka janganlah kalian berpuasa’.” (HR Imam Lima: Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Berdasarkan hadits ini, maka puasa Sya’ban haram dilakukan bila dimulai pada tanggal 16. Puasa Sya’ban harus dimulai sebelum tanggal tersebut, sejak tanggal 1 atau paling maksimal tanggal 15. Bila sampai tanggal 15 belum berpuasa, maka haram berpuasa pada tanggal 16 sampai akhir Sya’ban sesuai petunjuk hadits tersebut.
Founder Aswaja Muda, Ahmad Muntaha AM, dalam artikelnya di laman PBNU menyebut, as-Sayyid al-Bakri berupaya menjelaskan permasalahan ini secara lebih detail. Ia menjelaskan tiga pengecualian keharaman puasa separuh kedua bulan Sya’ban.
Pertama, disambung dengan puasa pada hari-hari sebelumnya, meskipun dengan puasa tanggal 15 Sya’ban. Semisal orang puasa pada tanggal 15 Sya’ban, kemudian terus berpuasa pada hari-hari berikutnya, maka tidak haram.
Kedua, bertepatan dengan kebiasaan puasanya. Semisal orang biasa puasa Senin Kamis atau puasa Dawud, maka meskipun telah melewati separuh Sya’ban ia tetap tidak haram berpuasa sesuai kebiasaannya.
Ketiga, merupakan puasa nazar atau puasa qadha’, meskipun qadha dari puasa sunnah. Bila demikian maka tidak haram. (Zainuddin bin Abdil Aziz al-Malibari, Fathul Mu’în pada I’ânatut Thâlibîn, [Beirut, Dârul Fikr], juz II, h. 273-274).
Setelah memperhatikan berbagai ketentuan hukum di atas, puasa Sya’ban dapat dilakukan satu, dua, atau tiga hari dan seterusnya sampai satu bulan penuh. Adapun Rasulullah tidak memuasainya satu bulan penuh agar tidak disalahpahami bahwa hukumnya adalah wajib. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwal Kubral Fiqhiyyah, [Beirut, Dârul Fikr] juz II, h. 82).
Niat puasa Sya'ban
Terakhir, untuk niat puasa Sya'ban bisa dilakukan di dalam hati. Niat puasa baiknya dilakukan dengan niat puasa mutlak, seperti "saya puasa" atau dengan membaca:
ููููููุชู ุตูููู ู ุดูุนูุจูุงูู ูููููฐูู ุชูุนูุงููู
Nawaitu shauma sya’bâna lilâhi ta’ala.
Artinya, “Saya niat puasa Sya’ban karena Allah ta’ala.
Selain niat dalam hati, juga disunnahkan mengucapkannya dengan lisan. Sebagaimana puasa sunnah lainnya, niat puasa Syaban dapat dilakukan sejak malam hari hingga siang sebelum masuk waktu zawal (saat matahari tergelincir ke barat), dengan syarat belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar atau sejak masuk waktu subuh. (Al-Malibari, Fathul Mu’în, juz II, h. 223).