Senin 27 Feb 2023 07:17 WIB

PM Ukraina: Rekonsiliasi dengan Rusia tidak Mungkin Terjadi dalam 100 Tahun

PM Ukraina membantah kemungkinan menyerahkan salah satu wilayahnya ke Rusia.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Seorang prajurit Ukraina membawa rekannya yang terluka yang dievakuasi dari medan perang ke sebuah rumah sakit di wilayah Donetsk, Ukraina, Senin, 9 Januari 2023.
Foto: AP Photo/Evgeniy Maloletka
Seorang prajurit Ukraina membawa rekannya yang terluka yang dievakuasi dari medan perang ke sebuah rumah sakit di wilayah Donetsk, Ukraina, Senin, 9 Januari 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, KIEV --  Perdana Menteri Ukraina, Denys Shmyhal, pada Ahad (26/2/2023) mengatakan, rekonsiliasi antara Moskow dan Kyiv tidak mungkin terjadi dalam seratus tahun mendatang. Menurut Shmyhal, rekonsiliasi bisa tercapai jika Rusia berubah total.

“Rekonsiliasi, kerja sama, tidak (dapat terjadi) dalam seratus tahun mendatang. Rusia pertama-tama harus berubah, didemokratisasi, didemiliterisasi, dan denuklirisasi,” kata Shmyhal dalam sebuah wawancara dengan surat kabar mingguan Jerman, Focus.

Baca Juga

Ketika ditanya tentang bagaimana Rusia harus dilucuti, Shmyhal menyatakan, harus ada sanksi lebih lanjut, dan penolakan untuk bekerja sama dengan Rusia. Termasuk penyitaan aset Rusia, dan bantuan militer lebih lanjut ke Ukraina.

Shmyhal juga mengatakan bahwa pembekuan konflik antara Moskow dan Kiev untuk menghentikan pertumpahan darah lebih lanjut tidak dapat diterima oleh Ukraina. Shmyhal lebih lanjut membantah kemungkinan Ukraina menyerahkan salah satu wilayahnya ke Rusia.

“Masyarakat tidak akan mengizinkan ini. Ribuan orang terbaik kami mati bukan untuk kami mencari kompromi dengan teroris berdarah dan agresor yang memeras seluruh dunia," ujar Shymhal.

Shymhal mengatakan, satu-satunya kompromi adalah penarikan penuh pasukan Rusia dari Ukraina. Selain itu, Rusia harus berhenti menembak, menghentikan agresi, dan meninggalkan wilayah Ukraina.

"Saya percaya bahwa mengubah perbatasan akan menjadi kompromi yang tidak dapat diterima untuk Eropa juga,” kata Shymhal.

Menyinggung proses keanggotaan Ukraina di Uni Eropa, Shmyhal mengatakan bahwa langkah ini sudah berlangsung lama. Shymhal meyakini bahwa keanggotaan Ukraina di Uni Eropa adalah tujuan yang ambisius dan realistis.

Dia mengatakan, warga Ukraina ingin memiliki kehidupan yang maju dan beradab. Shymhal mencatat bahwa, Ukraina secara konsekuen dapat mengadopsi dan menyetujui undang-undang serta peraturan Eropa dengan sangat cepat.

Dia lebih lanjut mengatakan, pengaruh oligarki di negara tersebut telah menurun secara signifikan sejak dimulainya perang Rusia-Ukraina. Dia menambahkan, Kyiv telah mengadopsi undang-undang anti-oligarki dan sedang bekerja untuk meningkatkan undang-undang anti-monopoli.

“Beberapa oligarki meninggalkan negara itu, beberapa kehilangan pengaruhnya di media.  Hampir tidak ada lagi yang memiliki pengaruh politik.  Banyak yang terpaksa menutup bisnis mereka di timur Ukraina. Usaha kecil dan menengah harus menjadi dasar pemulihan Ukraina dan ekonominya di masa depan,” kata Shymhal, dilaporkan Anadolu Agency, Ahad (26/2/2023).

Ukraina secara resmi melamar keanggotaan Uni Eropa pada 28 Februari 2022, empat hari setelah dimulainya perang dengan Rusia. Komisi Eropa mengeluarkan pendapatnya tentang penerapan keanggotaan Ukraina pada 17 Juni tahun lalu.

Setelah itu, Dewan Eropa memberikan status kandidat kepada Ukraina. Desember lalu, parlemen Ukraina mengadopsi beberapa rancangan undang-undang yang direkomendasikan oleh Komisi Eropa untuk melanjutkan proses aksesi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement