REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Merujuk Riset Kesehatan Dasar 2018, satu dari lima anak berusia lima hingga 12 tahun, dan satu dari tujuh remaja berusia 13-18 tahun di Indonesia mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Obesitas memiliki konsekuensi berat pada anak karena memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami sindrom metabolik.
Dokter spesialis gizi klinis Marya Haryono menjelaskan, obesitas pada anak berpotensi memicu sindrom metabolik. Kondisi ini dapat menyebabkan meningkatnya risiko penyakit tidak menular, seperti diabetes, strok, dan penyakit jantung. Risiko tersebut harus dicegah sedini mungkin.
"Sekarang itu sudah cukup banyak yang didiagnosis penyakit diabetes padahal masih muda. Itu kan berbahaya jika dialami anak atau remaja," kata dr Marya dalam diskusi memperingati Hari Obesitas Sedunia yang diselenggarakan Nutrifood di Jakarta Pusat, Rabu (1/3/2023).
Dr Marya mengatakan, seseorang didiagnosis mengalami sindrom metabolik bila memiliki tiga atau lebih kondisi, di antaranya kelebihan lemak tubuh di sekitar pinggang, gula darah (glukosa) tinggi, rendahnya kadar kolesterol HDL (baik) dalam darah, tingginya kadar trigliserida dalam darah, dan tekanan darah tinggi. Berbagai kondisi tersebut sering kali dialami oleh orang obesitas.
Merujuk pedoman BMI untuk Asia Pasifik dari WHO, seseorang dikatakan obesitas jika indeks massa tubuh (BMI) berada di atas angka 25. Sementara itu, saat BMI seseorang menyentuh angka 23 - 24,9 maka ia dikategorikan mengalami kelebihan berat badan, dan segera mengelola berat badannya agar tidak obesitas.