Senin 06 Mar 2023 15:49 WIB

Koalisi Desak Hentikan Kriminalisasi Haris-Fatia

Koalisi masyarakat sipil minta Kejati DKI hentikan kriminalisasi terhadap Haris-Fatia

Rep: Ali Mansur/ Red: Bilal Ramadhan
Direktur Lokataru Haris Azhar (kanan) didampingi kuasa hukum tiba untuk menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya. Koalisi masyarakat sipil minta Kejati DKI hentikan kriminalisasi terhadap Haris-Fatia.
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Direktur Lokataru Haris Azhar (kanan) didampingi kuasa hukum tiba untuk menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya. Koalisi masyarakat sipil minta Kejati DKI hentikan kriminalisasi terhadap Haris-Fatia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sajumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk menghentikan kasus kriminaliasi terhadap aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Saat ini berkas Perkara kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan itu sudah pada tahap 2.

"Kami mendesak kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk menghentikan perkara ini demi hukum. Jika tidak, maka kondisi ini semakin menunjukan aparat penegak hukum turut menjadi aktor dalam menyempitnya ruang kebebasan," tulis Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi dalam keterangannya, Senin (6/3/2023).

Baca Juga

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi menilai kasus kriminalisasi pembela HAM Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar terkait kritiknya terhadap pejabat publik kian tampak dipaksakan. Proses hukum yang memakan waktu sekitar satu tahun enam bulan memberi kesan keragu-raguan yang nyata dari kepolisian dan kejaksaan dalam melihat ada tidaknya unsur perbuatan pidana dalam perkara ini. 

"Baru pada Senin 6 Maret 2023, proses hukum terhadap keduanya memasuki tahap penyerahan tersangka dan barang bukti (tahap 2) dari Polda Metro Jaya kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta," kata dia.

Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi juga menilai, Penyidik dari Polda Metro Jaya dan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah keliru dalam kasus ini.

Tindakan Fatia dan Haris tidak dapat dipidanakan karena masih tergolong kritik yang sah terhadap pejabat publik, sekaligus bentuk partisipasi publik dalam rangka pengawasan pemerintahan. 

"Hal ini diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 dan Pasal 44 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia," lanjut Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi.

Lebih lanjut, seharusnya kasus ini tidak berlanjut. Itu terjadi jika Kepolisian dan Kejaksaan tunduk serta taat pada Surat Keputusan Bersama Nomor 229 tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi UU ITE. Dalam Undang-undang itu telah secara jelas dan tegas menyatakan bahwa bukan sebuah delik pidana apabila berbentuk penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan. 

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi juga menyebut, surat keterangan Komnas HAM nomor 588/K-PMT/VII/2022 pada Juli 2022 menyatakan Fatia dan Haris merupakan pembela HAM. Apabila dihubungkan dengan kritik keduanya yang terkait lingkungan di Papua maka keduanya dilindungi oleh Pasal 66 tentang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

"Menyatakan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata," jelasnya

Selain itu, sambung Isnur, bab VI Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan apabila tindakan yang dilakukan menjadi bagian dari memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Maka penuntut umum harus menutup perkara tersebut demi hukum dengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).

"Kebebasan berekspresi dan berpendapat atau sikap kritis rakyat terhadap pejabat publik tidak boleh dibungkam aparat penegak hukum melalui penerapan pasal-pasal karet," tegas Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi dalam tulisannya. 

Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi diantaranya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, LBH Jakarta, Amnesty International Indonesia. Kemudian KontraS, LBH PP Muhammadiyah, ICJR, TATAK, LBH Sulteng, YLBH Sisar Matiti Manokwari, Lokataru Foundation, PAHAM Papua, LBH Pers, SAFEnet, ELSAM, AJAR, AJI, Asian Human Rights Commission (AHRC), dan juga WALHI.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement