REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mobil listrik atau electrically vehicles (EV) terus berkembang di banyak negara. Untuk mendorong industri kendaraan ini, beberapa negara dunia telah menerapkan aturan yang memberikan insentif terhadap warga yang menggunakannya.
Laporan dari Bloomberg New Energy Finance menunjukkan penjualan tahunan mobil listrik diperkirakan meningkat dari 1,1 juta pada 2017 menjadi 11 juta pada 2025. Bahkan, EV akan mewakili 35 persen dari seluruh penjualan kendaraan pada 2040.
Sedangkan data Global EV Outlook terbaru dari International Energy Agency (IEA) menunjukan, mobil listrik menyumbang hampir 10 persen dari total penjualan mobil secara global pada 2021. Sedangkan, Negara-negara Nordik menempati lima posisi teratas dalam kelompok negara dengan penetrasi pasar EV tertinggi di dunia.
Menurut laporan canarymedia, penjualan mobil listrik dari keseluruhan penjualan mobil di Norwegia mencapai 86 persen, Islandia 72 persen, Swedia 42 persen. Kemudian Denmark 35 persen dan Finlandia sebanyak 31 persen.
Sedangkan 12 tempat teratas jatuh ke negara-negara Eropa. Keberhasilan ini dinilai dari adopsi EV selama bertahun-tahun karena kebijakan pajak yang memberi insentif pada pembelian EV dibandingkan kendaraan bertenaga bensin.
Menurut data Asosiasi Produsen Otomotif Eropa, dari 27 negara anggota Uni Eropa (EU) hanya 17 negara yang menawarkan insentif pembelian seperti pembayaran bonus atau premi kepada pembeli EV pada 2021. Jumlah ini sudah turun dari 20 negara pada 2020.
Insentif pembelian EV pun masih sangat berbeda di setiap negara. Contoh saja Hungaria, yang memiliki market share EV sebanyak 4,7 persen. Pemerintah memberikan insentif dalam pembelian EV per 15 Juni 2020 sebanyak 7.350 hingga 32 ribu euro atau sekitar Rp121 juta hingga Rp525 juta untuk harga kotor. Sedangkan insentif sebesar 1.500 euro atau Rp25 juta jika harga EV antara 32 ribu hingga 44 ribu euro atau Rp722 juta.
Berbeda dengan Prancis yang pangsa pasar EV sudah 11,2 persen. Insentif pembelian diberikan dengan banyak kategori. Bonus untuk membeli mobil atau van dengan kurang dari 20g CO2/km dengan 7.000 euro atau Rp115 juta untuk rumah tangga, jika kendaraan dibawah harga 45 ribu euro setara dengan Rp739 juta. Sedangkan bonus 5.000 euro atau Rp82 juta untuk badan hukum dengan kendaraan kurang dari 45 ribu euro.
Saat ini sejumlah negara memiliki target atau undang-undang yang menyerukan penghapusan mobil bensin baru secara bertahap di tahun-tahun mendatang. Kondisi ini sesuai dengan pasar mobil listrik telah tumbuh dengan kecepatan yang dramatis.
"Pada 2012, hanya 120 ribu mobil listrik yang terjual di seluruh dunia. Pada 2021, lebih dari itu [dijual] setiap minggu,” ujar Badan Energi Internasional (IEA).
Pada 2021, 6,6 juta EV terjual di seluruh dunia. Sedangkan per September 2022, dua juta EV terjual di seluruh dunia hanya dalam tiga bulan pertama atau 75 persen lebih banyak dibandingkan periode waktu yang sama tahun lalu.
Baca juga : Menperin Tegaskan Produsen Kendaraan Listrik tak Boleh Naikkan Harga
Penggunaan EV dinilai akan mengurangi ketergantungan pada minyak, meningkatkan efisiensi energi global, dan mengurangi emisi gas untuk transportasi jalan dengan integrasi energi terbarukan. Namun, penggunaan EV juga sering kali bertemu dengan konsumsi daya sebagai pengganti bahan bakar. Terdapat isu kekhawatiran kekurangan listri di negara dengan penggunaan banyak EV.
Tapi, laporan Climate Nexus menyatakan, secara global, mengelektrifikasi armada kendaraan dunia hanya akan menambah 25 persen permintaan listrik global pada 2050. Sementara pasokan listrik global diperkirakan akan tumbuh lebih dari 60 persen dari level tahun 2020 pada 2026.