REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Regenerasi petani sangat diperlukan disaat kebutuhan pangan menjadi sangat fundamental. Apalagi saat ini, adanya kenaikan kebutuhan dan ancaman global tentang krisis pangan.
Belum lagi, kata anggota Komisi IV DPR RI Ono Surono, adanya pandemi covid 19 dan perang Rusia Ukraina. "Regenerasi Petani akan berjalan bila diikuti dengan konsistensi pemerintah dalam menjalankan program yang menyelesaikan masalah dasar pertanian, yaitu lahan, irigasi, sarana prasarana, regulasi, kelembagaan, permodalan dan hilirisasi," ujar Ono saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional bertajuk "Peran Petani Muda Sebagai Pilar Penting Dalam Upaya Menghadapi Krisis Pangan Global" di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Senin petang. (13/3).
Menurut Ono, yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Jabar ini, program pertanian mayoritas berasal dari Kementerian Pertanian dan nilainya terus menurun setiap tahunnya. Bahkan dari info yang didapatnya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat hanya menganggarkan program-program pertanian tidak lebih dari 1-2 persen dari seluruh APBD Jawa Barat.
Saat biaya produksi kecil, kata Ono, maka pendapatan petani akan lebih besar. Sehingga, akan membukakan mata anak muda tentang usaha pertanian yang menguntungkan
Ono pun menyarankan, Program Petani Muda harus difokuskan dulu pada wilayah pertanian produktif yang diawali dengan membuat regulasi (Perda) untuk mengatur Lahan Pertanian Berkelanjutan yang disertai skema perlindungan dan pemberdayaan. Yakni, dari mulai pendidikan/pelatihan anak-anak petani dengan beasiswa full dari pemerintah sampai perguruan tinggi pada fakultas/jurusan pertanian.
"Lalu setelah lulus wajib meneruskan usaha orangtuanya. memastikan irigasi, benih, pupuk, alsintan tersedia dengan baik, membantu dalam pasca panen dan distribusi. Setelah itu baru mengarah pada mahasiswa pertanian dan pengganguran angkatan kerja," kata Ono.
Ono mengatakan, Program Petani Milenial di Jawa Barat yang dinilai gagal. Karena, hanya 30 persen yang dikatakan berhasil, bukan karena konsepnya yang salah, tetapi pelaksanaannya jauh dari konsep awal.
Misalnya, kata dia, tanah yang disediakan hanya 0,2 ha dan belum ada irigasinya, permodalan yang tidak dikelola langsung oleh petani, off taker yang menghilang, dan pendampingan dari penyuluh yang tidak berjalan.
"Program Petani Milenial akhirnya hanya fokus dihilirisasi yang ujungnya juga tidak berjalan dengan baik, dibuktikan dengan sepinya outlet produk Program Petani Milenial," katanya.
Pemprov Jabar, kata dia, tidak menyiapkan program hulunya yang menyelesaikan permasalahan dasar pertanian. Mungkin saja, selama ini Provinsi Jawa Barat hanya mengandalkan program dari Kementerian Pertanian. Sehingga, semua kebutuhan untuk menjalankan program itu hanya bersumber dari hutang pada Bank Jabar Banten yang mengakibatkan bengkaknya biaya produksi
"Padahal, apabila pendapatan petani dalam 1 bulannya mencapai 3-4 juta, maka regenerasi tidak akan masalah lagi," katanya.