Selasa 14 Mar 2023 17:39 WIB

Perubahan Preferensi Pemilih Muda Terhadap Sosok Pemimpin Nasional Menurut Survei

Survei CSIS merekam preferensi pemimpin seperti apa yang akan dipilih pemilih muda.

Pemilih memasukkan surat suara ke dalam kotak suara saat simulasi pemungutan dan penghitungan suara dengan desain surat suara dan formulir yang disederhanakan dalam persiapan penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2024 di Kantor KPU Provinsi Bali, Denpasar, Bali pada akhir tahun lalu. Berdasarkan survei CSIS, terjadi perubahan preferensi pemilih muda terhadap sosok calon pemimpin yang akan dipilih. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo
Pemilih memasukkan surat suara ke dalam kotak suara saat simulasi pemungutan dan penghitungan suara dengan desain surat suara dan formulir yang disederhanakan dalam persiapan penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2024 di Kantor KPU Provinsi Bali, Denpasar, Bali pada akhir tahun lalu. Berdasarkan survei CSIS, terjadi perubahan preferensi pemilih muda terhadap sosok calon pemimpin yang akan dipilih. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wahyu Suryana

Survei CSIS mendapati perubahan persepsi pemilih muda terhadap sosok pemimpin nasional. Perubahan itu berpengaruh terhadap preferensi pemilih muda terhadap pemimpin dari sosok merakyat dan sederhana pada 2019 menjadi jujur dan antikorupsi pada 2022.

Baca Juga

Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes mengatakan, keinginan sosok pemimpin yang merakyat dan sederhana dari pemilih muda mengalami penurunan sangat drastis. Dari 39,2 persen pada 2019 menjadi 15,9 pada 2022.

Pada saat yang sama, anak-anak muda menginginkan pemimpin yang jujur dan antikorupsi yang angkanya naik sangat tinggi dari 11,1 persen pada 2019 menjadi 34,8 persen pada 2022. Peningkatan turut terjadi dari sosok pemimpin berpengalaman.

"Kami melihat kepemimpinan nasional yang dibutuhkan oleh anak-anak muda ke depan adalah kepemimpinan yang bersih, kepemimpinan yang jujur dan kepemimpinan yang antikorupsi," kata Arya, Selasa (14/3/2023).

Kepedulian itu bisa dilihat dari dukungan anak-anak muda menolak revisi UU KPK. Karenanya, Arya menekankan, dalam pemilu mendatang isu-isu penguatan KPK dan pemberantasan korupsi mempengaruhi persepsi pemilih terhadap capres tertentu.

Survei CSIS 2022 turut menemukan, bahwa 32,4 persen pemilih muda masih memiliki harapan yang sangat besar. Yaitu, membayangkan Indonesia pada masa mendatang menjadi sebuah negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan antikorupsi.

Arya juga mengatakan, pemilih muda memiliki komitmen terhadap demokrasi yang tinggi. Komitmen itu tercermin contohnya dari demonstrasi penolakan pengesahan RKUHP pada 2019 yang dianggap mengancam kebebasan.

"Kemudian, sikap yang tegas terhadap pembatasan masa jabatan presiden. Mayoritas pemilih muda beranggapan masa jabatan presiden harus tetap dipertahankan selama 10 tahun," kata Arya.

Ia menuturkan, pemilih muda ini hidup dalam situasi krisis, pandemi Covid-19, ekonomi global yang tidak pasti dan tensi politik global yang tinggi. Arya berpendapat, situasi itu akan memengaruhi perilaku dan sikap politik anak muda ke depan.

 

 

Arya mengingatkan, Indonesia akan melaksanakan Pemilu pada Februari 2024 nanti secara serentak dengan melaksanakan pilpres dan pileg. Dengan lebih dari 190 juta terdaftar sebagai pemilih, ini jadi salah satu pemilu terbesar di dunia.

"Hampir 60 persen dari total populasi pemilih adalah pemilih muda berusia 17-39 tahun. Pola, sikap dan perilaku pemilih muda diprediksi akan menjadi penting mempengaruhi politik dan pemilu ke depan," ujar Arya.

Angka itu didapatkan CSIS dengan melakukan estimasi jumlah pemilih muda memakai data sensus penduduk dan data jumlah pemilih. Angka estimasi pemilih muda 58,34 persen, sedangkan pemilih di atas 40 tahun angkanya sekitar 41,66 persen.

 

Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri mengatakan, angka proporsi pemilih muda memang semakin besar. Pada Pemilu 2024 mendatang, ia memperkirakan hampir 60 persen pemilih atau berusia di atas 17 tahun, tapi berada di bawah 40 tahun.

Satu yang membedakan dari generasi ini dibanding generasi sebelumnya kebanyakan dari mereka merupakan digital native. Generasi yang sejak kecil sudah terpapar digital platform, bukan digital migrant yang baru tersentuh digital saat dewasa.

Walaupun ada proporsi yang cukup besar dari pemilih muda, masih kurang terlihat partisipasi yang cukup aktif dalam proses politik. Tahun lalu, survei melibatkan ribuan anak muda, hanya satu koma sekian persen yang tertarik jadi kader parpol.

Keterwakilan dalam legislatif masih rendah. Di DPR, hanya sekitar enam persen yang merupakan pemilih muda di bawah 40 tahun, walau di tingkatan lokal memiliki jumlah cukup besar. Jadi, masih harus terus didorong anak muda terlibat aktif.

"Untuk memberikan penyegaran-penyegaran baru, membawa tema-tema baru yang bisa menyegarkan proses kebangsaan kita," ujar Yose.

Senior Fellow CSIS, Philips J Vermonte menambahkan, muara dari semua politik merupakan kebijakan. Walau pemilih muda penting dalam mencari suara, pemilih muda ini harus terpengaruh dan diperhatikan dalam konteks membuat kebijakan.

"Di hulu sebagai penyumbang suara, kelompok terbesar, 111 juta, tapi dalam konteks kebijakan dia diperhatikan, menciptakan kesejahteraan," kata Philips.

 

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement