Jumat 17 Mar 2023 13:46 WIB

20 Tahun Invasi Irak, AS Masih Harus Tanggung Konsekuensi

Konsekuensi itu mulai dari pengaruh AS yang terkikis hingga biaya untuk perangi ISIS

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
 Orang-orang yang berjalan di sepanjang Rasheed Street tercermin dalam potret hitam-putih Presiden Irak Saddam Hussein di Bagdad, Irak, 26 Februari 2003 (Diterbitkan 15 Maret 2023). Pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat melancarkan invasi militer ke Irak pada 19 Maret 2003 menyusul mantan Presiden George W. Bush, dan klaim pemerintahannya bahwa Irak telah menimbun senjata pemusnah massal.
Foto: EPA-EFE/JIM LO SCALZO
Orang-orang yang berjalan di sepanjang Rasheed Street tercermin dalam potret hitam-putih Presiden Irak Saddam Hussein di Bagdad, Irak, 26 Februari 2003 (Diterbitkan 15 Maret 2023). Pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat melancarkan invasi militer ke Irak pada 19 Maret 2003 menyusul mantan Presiden George W. Bush, dan klaim pemerintahannya bahwa Irak telah menimbun senjata pemusnah massal.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) masih menghadapi konsekuensi saat mereka menginvasi Irak 20 tahun lalu. Konsekuensi yang dihadapi AS, antara lain, mulai dari Iran yang diberdayakan dan pengaruh AS yang terkikis hingga biaya menjaga pasukan AS di Irak dan Suriah untuk memerangi ISIS.

Pada 2003, Presiden AS George W Bush membuat keputusan untuk menggulingkan Saddam Hussein secara paksa dan menginvasi Irak. Jumlah pasukan AS yang terbatas menyebabkan munculnya perselisihan etnis. Penarikan pasukan AS pada 2011 semakin memperumit kebijakan Washington di Timur Tengah.

Baca Juga

Berakhirnya pemerintahan Saddam Hussein yang merupakan Suni minoritas dan berganti dengan pemerintah mayoritas Syiah di Irak membebaskan Iran untuk memperdalam pengaruhnya di Levant, terutama di Suriah, ketika pasukan Iran dan milisi Syiah membantu Bashar al-Assad menghancurkan pemberontakan Suni dan tetap berkuasa.

Penarikan pasukan AS dari Irak pada 2011 meninggalkan kekosongan yang diisi militan ISIS, yang merebut sekitar sepertiga wilayah Irak dan Suriah. Kehadiran ISIS menimbulkan ketakutan di antara negara-negara Teluk Arab dan mereka tidak dapat mengandalkan Amerika Serikat.  

Setelah pasukan AS ditarik pada 2011, Presiden AS Barack Obama mengirim kembali pasukannya ke Irak pada 2014. Kemudian pada 2015, Obama mengerahkan pasukan ke Suriah dengan sekitar 900 tentara berada di lapangan. Pasukan AS di kedua negara itu memerangi militan ISIS yang juga aktif dari Afrika Utara hingga Afghanistan.

"Ketidakmampuan, keengganan kami, untuk meletakkan palu dalam hal keamanan di negara itu memungkinkan terjadinya kekacauan, yang memunculkan ISIS," kata mantan wakil menteri luar negeri Richard Armitage, yang menyalahkan kegagalan AS untuk mengamankan Irak.

Armitage bertugas di bawah Bush yang berasal dari Partai Republik ketika AS menginvasi Irak. Armitage mengatakan, invasi AS merupakan kesalahan strategis yang sama besarnya dengan invasi Hitler ke Uni Soviet pada 1941, yang membantu kekalahan Jerman dalam Perang Dunia Kedua. Menurut Armitage, biaya keterlibatan AS di Irak dan Suriah sangat besar.

Menurut perkiraan yang diterbitkan oleh proyek "Costs of War" di Universitas Brown, biaya yang dikeluarkan AS hingga saat ini untuk perang di Irak dan Suriah mencapai 1,79 triliun dolar AS. Biaya itu termasuk pengeluaran Pentagon dan Departemen Luar Negeri, perawatan veteran, dan bunga atas utang pembiayaan konflik. Perawatan veteran diproyeksikan berlangsung hingga 2050 dam meningkat menjadi 2,89 triliun dolar AS.

Proyek "Costs of War" memperkirakan kematian militer AS di Irak dan Suriah selama 20 tahun terakhir mencapai 4.599. Proyek ini juga memperkirakan total kematian, termasuk warga sipil Irak dan Suriah, militer, polisi, pejuang oposisi, media, dan lainnya sebesar 550 ribu hingga 584 ribu. Kematian ini  mencakup mereka yang terbunuh sebagai akibat langsung dari perang, tetapi tidak termasuk kematian tidak langsung yang diperkirakan karena penyakit, pemindahan, atau kelaparan.

Kredibilitas AS juga anjlok karena keputusan Bush menginvasi Irak berdasarkan intelijen palsu yang dibesar-besarkan. Ketika itu, Bush menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal (WMD). Namun, tuduhan Bush itu tidak terbukti.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement