REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR RI mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) jadi RUU inisiatif DPR. Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Willy Aditya meyakini, pengesahan dapat mengisi kekosongan hukum atas status pekerja rumah tangga.
Ia menilai, tidak dianggapnya pekerja rumah tangga sebagai pekerja dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membuat pembahasan RUU PPRT jadi penting. Sebab, RUU ini nantinya akan memberi kepastian hukum terhadap hubungan kerja.
Baik antara pekerja rumah tangga, pemberi kerja maupun negara. Apalagi, Willy mengingatkan, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dianggap sebagai pekerja merupakan mereka yang cuma bergerak di sektor barang dan jasa.
"Mereka yang bergerak di sektor sosial, domestik sama sekali tidak ada status. Selama ini, yang mengatur mereka Peraturan Menteri Tenaga Kerja. Permenaker tidak memiliki kekuatan hukum yang cukup memadai," kata Willy, Rabu (23/3/2023).
Padahal, ia melihat, sektor pekerja rumah tangga merupakan sektor yang sangat rawan. Willy menilai, kenyataan kalau pekerjaannya berada di ruang domestik membuat akses perlindungan terhadap pekerja tersebut menjadi sangat terbatas.
Maka itu, ia merasa, RUU PPRT sangat penting dapat hadir dan menjadi payung hukum yang kokoh bagi pekerja rumah tangga. Terlebih, Willy berpendapat, sering kita terjebak seolah tidak perlu ikut campur masalah rumah tangga orang lain.
Menurut Willy, realitas ini yang harus dibongkar karena dalam tembok yang tebal maupun pagar yang tinggi terjadi sebuah relasi kerja yang semena-mena. Willy berharap, siapapun warga negara Indonesia mendapatkan akses keadilan setara.
Saat ini, DPR telah mengirim utusan ke pemerintah dan sedang menunggu pemerintah menerbitkan Surat Presiden (Surpres) dan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU PPRT. Karenanya, DPR sedang menunggu Surpres dan DIM secepat mungkin dikeluarkan.
"Kalau pekan depan sudah ada Surpres dan DIM, insya Allah kita selesaikan di Ramadhan ini," ujar Willy.