Kamis 30 Mar 2023 05:35 WIB

Perseteruan Guru dengan Otoritas Palestina Korbankan Murid Sekolah

Sekolah umum Palestina tutup akibat guru mogok karena otoritas kekurangan uang

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Sekolah umum Palestina di Tepi Barat telah ditutup sejak 5 Februari. Kondisi ini akibat pemogokan guru terlama akibat Otoritas Palestina (PA) yang kekurangan uang.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Sekolah umum Palestina di Tepi Barat telah ditutup sejak 5 Februari. Kondisi ini akibat pemogokan guru terlama akibat Otoritas Palestina (PA) yang kekurangan uang.

REPUBLIKA.CO.ID, KAMP PENGUNGSI AL-AZZA -- Siswa di sekolah-sekolah di seluruh dunia sudah memasuki pertengahan semester kedua. Hanya saja di kamp pengungsi Palestina di selatan Yerusalem, anak-anak justru bangun pukul 13.00.

Mereka menendang bola sepak, nongkrong di tempat pangkas rambut, dan menelusuri TikTok tanpa tujuan. Mereka menonton televisi sampai subuh, hanya untuk bangun terlambat dan bermalas-malasan lagi.

Sekolah umum Palestina di Tepi Barat telah ditutup sejak 5 Februari. Kondisi ini akibat pemogokan guru terlama akibat Otoritas Palestina (PA) yang kekurangan uang.

Tuntutan guru untuk kenaikan gaji telah meningkat menjadi gerakan protes yang telah menyusahkan pemerintah Palestina. Namun pemogokan itu bukan hanya soal uang.

Sebagai kelompok pegawai pemerintah terbesar di Tepi Barat setelah pasukan keamanan, para guru juga menyerukan serikat pekerja yang dipilih secara demokratis. Pihak berwenang tidak bergeming, khawatir saingannya Hamas, dapat menggunakan gerakan itu melawan partai Fatah yang berkuasa.

“Semuanya kacau,” kata pekerja sosial dan ibu lima anak di sebuah kamp pengungsi Sherin al-Azza.

Azza Bertekad bahwa anak-anaknya mengenyam pendidikan, sehingga dia mengumpulkan tabungan sebesar 200 dolar AS untuk menyewa tutor pribadi. Namun, tindakan itu dinilai tidak bisa dilakukan oleh seluruh pengungsi kamp.

PA yang dipimpin Presiden Mahmoud Abbas menuduh para guru yang mogok menyandera sekitar satu juta anak sekolah atas tuntutan mendapatkan gaji yang lebih baik. Para guru yang merasa diremehkan selama beberapa dekade mengatakan, mereka tidak punya pilihan selain keluar.

“Saya merasa tidak enak untuk anak-anak itu,” kata guru bahasa Arab berusia 44 tahun selama 23 tahun terakhir bernama Mohammed Brijeah.

“Tapi cara (Otoritas Palestina) memperlakukan kami menghina. Saya ingin hidup dengan bermartabat," katanya.

Selama bertahun-tahun, para guru di Tepi Barat telah berjuang untuk memenuhi kebutuhan dengan gaji sekitar 830 dolar AS sebulan. Jumlah ini jauh lebih rendah daripada profesi lain yang membutuhkan pendidikan yang sebanding.

Sekarang, satu setengah tahun setelah PA memangkas pendapatan pegawai pemerintah sebesar 20 persen untuk mengatasi kekurangan anggaran, para guru mengatakan bahwa mereka sudah bersikap cukup. Sejak Januari, para guru diharapkan menerima kenaikan gaji 15 persen bersama dengan pembayaran kembali berdasarkan kesepakatan yang mengakhiri pemogokan yang lebih singkat pada Mei lalu.  Namun saat tahun baru dimulai, para guru mengatakan, slip gaji mereka merusak kepercayaan pada pejabat.

“Mereka membohongi kami,” kata guru sejarah berusia 37 tahun di Bethlehem Yousef Ijha.

Ijha dan guru-guru lain mendesak untuk membentuk serikat independen sendiri melawan sindikat saat ini yang diisi oleh pendukung Fatah. Gerakan mereka telah dimobilisasi melalui saluran Telegram anonim dengan hampir 20 ribu pengikut dan menggembleng massa yang marah untuk melakukan dua aksi duduk di kota Ramallah, pusat PA.

Sebagai tanggapan, pihak berwenang telah mengancam pemecatan massal dan bahkan penangkapan. Gugatan yang diajukan oleh Kementerian Pendidikan pada 13 Maret mencantumkan nama 151 guru vokal yang akan diberhentikan jika melanjutkan pemogokan dan ditahan bila melakukan perlawanan lebih lanjut.

“Tidak hanya kami tidak mendapatkan gaji kami, kami benar-benar tidak diizinkan untuk berbicara,” kata Ijha yang namanya ada dalam daftar.

Gerakan guru menolak tawaran terbaru PA untuk secara bertahap mengkompensasi pemotongan gaji selama jangka waktu yang tidak ditentukan. Kementerian Pendidikan mengatakan, sedang bersiap untuk merekrut lebih dari 45 ribu guru dengan kontrak jangka pendek untuk menggantikan semua pemogokan bulan depan. Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh memohon para guru untuk kembali ke sekolah.

“Kita harus memenuhi tanggung jawab kita untuk memastikan hak atas pendidikan bagi putra dan putri kita,” kata Shtayyeh pada rapat Kabinet pada Senin (27/3/2023).

Banyak guru yang skeptis. Menolak untuk mundur, gerakan tersebut memperingatkan akan mendirikan tenda di alun-alun utama Ramallah dan berkemah selama sisa bulan suci Ramadhan. Saat kebuntuan semakin dalam, orang tua khawatir anak-anak mereka tertinggal jauh dan tidak akan siap untuk ujian masuk universitas atau bahkan semester depan.

“Ini adalah generasi kita yang hilang,” kata Ahmad, seorang pengacara berusia 43 tahun dan ayah dari enam anak.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement