REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Taiwan Tsai Ing-wen berusaha menopang hubungan dengan sekutu yang tersisa di Amerika Tengah pada kunjungan pekan ini. Tsai mendarat di Guatemala pada Jumat (31/3/2023) sore, berjalan dari pesawat di sepanjang karpet merah bersama menteri luar negeri Guatemala.
Tsai memberikan pidato yang ditujukan kepada para pemimpin Guatemala dan Belize sesaat sebelum berangkat dalam kunjungannya. Dia membingkai perjalanan itu sebagai kesempatan untuk menunjukkan komitmen Taiwan terhadap nilai-nilai demokrasi secara global.
"Tekanan eksternal tidak akan menghalangi resolusi kami untuk melangkah ke panggung dunia. Kami akan tenang, percaya diri, kami tidak akan tunduk tetapi juga tidak memprovokasi,” kata Tsai yang juga akan bertemu dengan Ketua House of Representatives Amerika Serikat (AS) Kevin McCarthy saat singgah di AS.
Tapi perjalanan itu juga bertujuan untuk memperkuat hubungan di Amerika Latin. Cina menyalurkan uang ke Amerika Latin dan menekan negara-negaranya untuk memutuskan hubungan dengan pulau demokrasi yang diperintah sendiri itu.
Dalam kunjungan di Guatemala dan Belize, Tsai diharapkan membawa hasil bagi investasi dan ekonomi. Namun di wilayah dengan pengaruh Cina yang berkembang, para analis mengatakan bahwa Taiwan mungkin sudah kalah dalam permainan panjang.
“Negara-negara ini, mereka simbolis. Dan menurut saya Taiwan tidak ingin kehilangan satu pun dari mereka. Tapi jika Cina akan menikmati diplomasi buku cek, saya rasa Taiwan tidak dapat bersaing dan mereka mengetahuinya,” kata ilmuwan politik di University of Miami June Teufel Dreyer.
Kunjungan itu dilakukan hanya beberapa hari setelah Honduras menjadi negara terbaru yang memutuskan hubungan dengan Taiwan. Tegucigalpa memilih menjalin hubungan dengan Beijing.
Honduras mengikuti jejak Nikaragua, El Salvador, Republik Dominika, Panama, dan Kosta Rika dalam meninggalkan Taiwan. Taiwan kini memiliki kurang lebih 13 mitra diplomatik resmi. Lebih dari setengahnya adalah negara-negara kecil di Amerika Latin dan Karibia, Belize, Guatemala, Paraguay, Haiti, Saint Kitts and Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent, dan Grenadines.
Tidak dapat dipungkiri, Cina telah menghabiskan banyak upaya dalam kampanyenya untuk mengisolasi Taiwan secara diplomatis sejak pemilihan Tsai pada 2016. Beijing berhasil meyakinkan sembilan negara untuk memutuskan hubungan dengan Taipei sejak dia menjabat. Pemerintah Cina memandang Tsai dan Partai Progresif Demokratik yang berhaluan kemerdekaan sebagai separatis.
Dalam beberapa kasus peralihan dukungan, Cina dikatakan telah menggantungkan paket investasi dan pinjaman yang besar dan kuat sebagai imbalan untuk mengalihkan dukungan. Ketika negara adidaya Asia berusaha untuk mengisolasi Taiwan dan memperluas kekuatannya di panggung global, perdagangan dan investasi Cina di Amerika Latin telah melonjak.
Menurut United States Institute of Peace, antara 2005 hingga 2020, Cina telah menginvestasikan lebih dari 130 miliar dolar AS di Amerika Latin. Perdagangan antara Cina dan kawasan itu juga melonjak. Diperkirakan jumlahnya akan mencapai lebih dari 700 miliar dolar AS pada 2035.
Guatemala dan Belize adalah negara yang tetap menjadi pendukung setia Taiwan. Pemerintah Guatemala pada Maret menegaskan kembali pengakuannya terhadap Taiwan sebagai negara merdeka yang berbagi nilai-nilai demokrasi dan saling menghormati.
Namun para analis mengatakan kesetiaan mereka juga merupakan perhitungan politik. Peneliti International Affairs Institute Tiziano Breda mengatakan, posisi itu kemungkinan akan digunakan secara politis, digunakan sebagai perisai potensial melawan tekanan dari AS.
Pemerintah AS sangat kritis terhadap pemerintahan Presiden Alejandro Giammattei karena tidak berbuat cukup untuk memberantas korupsi. “Ini adalah kartu yang menunggu untuk dimainkan oleh negara-negara ini,” kata Breda.