Rabu 05 Apr 2023 17:31 WIB

PSHK: Ketua KPU Selayaknya Mengundurkan Diri Karena Terbukti Langgar Kode Etik

Putusan DKPP dinilai tidak berperspektif korban dugaan kekerasan seksual.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Agus raharjo
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (KPU RI), Hasyim Asy
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (KPU RI), Hasyim Asy

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mendesak Ketua Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mundur karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik. Hal ini menyusul hasil putusan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) terhadap komunikasi yang tidak patut dengan calon peserta pemilu dan Ketua KPU.

Peneliti PSHK, Fajri Nursyamsi mengatakan, bahwa proses pemeriksaan dan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) sudah menunjukkan dengan jelas Ketua KPU terbukti melakukan pelanggaran kode etik. Yakni, berupa tindakan tidak profesional dengan mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketua KPU juga dinilai mencoreng kredibilitas kelembagaan KPU RI karena terkait dengan konflik kepentingan.

Baca Juga

"Oleh karena itu, terlepas dari sanksi yang sudah dijatuhkan DKPP, sebagai ketua lembaga negara yang sudah diangkat sumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa, dan menyatakan akan mengutamakan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia di atas kepentingan pribadi, Ketua KPU sudah selayaknya untuk mengundurkan diri dari keanggotaan KPU," kata Fajri kepada Republika.co.id di Jakarta pada Rabu (5/4/2023).

Dalam hal ini, PSHK juga mendesak DKPP untuk lebih tegas dan tidak ragu menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap sebagai anggota. Hal ini haru dilakukan jika ada penyelenggara pemilu yang melakukan pelanggaran kode etik, terutama yang berkaitan dengan tindakan sengaja mendahulukan kepentingan pribadi dan terkait dengan konflik kepentingan dengan perannya sebagai penyelenggara pemilu.

"DKPP harus membuat mekanisme perlindungan terhadap korban dan/atau pengadu yang terkait dengan dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu," kata Fajri.

DKPP juga didesak untuk menyiapkan mekanisme pemeriksaan terhadap korban dan/atau pengadu agar dapat memberikan informasi secara bebas, aman, dan tanpa tekanan. "Sekali lagi, Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari untuk segera mengundurkan diri dari keanggotaan KPU RI," terang dia.

Putusan DKPP RI Nomor 35-PKE-DKPP/II/2023 dan 39-PKE-DKPP/II/2023 memberikan sanksi "peringatan keras terakhir" kepada Ketua KPU RI Hasyim. Dia melanggar Pasal 6 ayat (3) huruf e dan f jo Pasal 15 huruf a, d, dan g Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum.

Ketua KPU dinilai melanggar prinsip profesionalisme dengan melakukan komunikasi yang tidak patut dengan calon peserta pemilu, dan mencoreng kehormatan lembaga penyelenggara pemilu. Menurut PSHK, DKPP tidak tegas dalam penjatuhan sanksi peringatan keras terhadap ketua KPU.

"Alih-alih menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap sebagai anggota KPU, DKPP justru melakukan pembiaran terhadap Ketua KPU yang sudah terbukti melanggar kode etik. DKPP seolah tidak menyadari bahwa kredibilitas KPU dipertaruhkan dalam putusannya, yang akan berdampak pada kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu dan proses pemilu secara keseluruhan," kata Fajri.

PSHK menilai putusan DKPP tidak berperspektif korban dugaan kekerasan seksual. Hal ini dilihat dari segi proses penanganan kasus pelecehan seksual, DKPP tidak memiliki skema pelindungan saksi dan korban. Kedua, kata Fajri, DKPP gagal menghadirkan perspektif korban dalam proses penanganan kasus maupun pertimbangan hukumnya.

"Ketiga, DKPP absen menghadirkan pertimbangan relasi kuasa yang seringkali berperan dalam kasus kekerasan seksual. Di tengah berbagai kekurangan tersebut, DKPP justru menekankan beban pembuktian kepada korban," tutur Fajri.

PSHK menilai mekanisme penanganan kasus yang timpang dan minim perspektif tersebut menjadi gambaran bahwa DKPP tidak mampu menciptakan ruang aman dan perlindungan bagi setiap orang yang bermaksud menyampaikan pengaduan atas dugaan pelanggaran etik perilaku penyelenggara pemilu. "DKPP seharusnya mampu menciptakan proses yang adil dalam memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara pemilu," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement