REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Said Abdullah mendukung wacana pembentukan koalisi besar yang terdiri dari partai politik di pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, partainya menyebutnya sebagai kerja sama politik besar.
"Seharusnya yang pas kerja sama politik besar, kerja sama akbar parpol, dan itu memang gagasan awal dari kami oleh PDI Perjuangan," ujar Said di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/4/2023).
Said mengeklaim, kerja sama politik itu didorong lewat silaturahim yang dilakukan oleh Ketua DPP PDIP, Puan Maharani. Puan sendiri sudah menemui empat ketua umum partai politik, yakni Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Surya Paloh, dan Abdul Muhaimin Iskandar.
"Sesungguhnya kan yang memulai kan PDI Perjuangan, cuma kemudian masih berjalan satu-satu kan begitu. Karena awal ketika ketmu dengan Pak Prabowo, dengan Airlangga itu kan dalam konteks pertemuan untuk menyatukan visi," ujar Said.
"Dari titik itu lah PDIP akan membentuk kerjasama Akbar parpol," katag Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR itu menambahkan.
Jika benar terealisasi, semua partai politik di koalisi harus duduk bersama untuk membahas berbagai hal terkait Pemilu 2024. Termasuk ihwal pengusungan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
"Duduk saja dulu, lima tahun ke depan mau seperti apa, ayo yang sudah baik dilakukan oleh Bapak Presiden Jokowi kita lanjutkan. Tapi kita harus jauh juga, tantangannya ke depan berbeda," ujar Said.
Wacana Koalisi Besar muncul usai Silaturahim Ramadhan yang digelar Partai Amanat Nasional (PAN). Lima partai berkumpul dan membahas soal koalisi besar ini. Kelima partai yakni, Golkar, Gerindra, PAN, PKB, dan PPP. PDIP tak ikut dalam pertemuan lima partai penggagas koalisi besar ini.
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lili Romli berharap PDIP menolak terbentuknya koalisi besar, mengingat mereka tak hadir dalam acara silaturahim nasional yang digelar PAN dan dihadiri Jokowi. Tujuannya agar terbentuknya lebih dari dua poros koalisi pada Pilpres 2024.
"Saya harap PDIP menolaknya, kalau tidak menolak dan setuju atas koalisi besar, maka pernyataan yang muncul selama ini bahwa negara ini diatur oleh oligarki menjadi menjadi kenyataan," ujat Romli saat dihubungi, Senin (3/4/2023).
Di balik wacana pembentukan koalisi besar, ia menilai elite-elite partai politik, khususnya yang berada dalam koalisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin hanya ingin Pilpres 2024 diikuti oleh dua pasangan capres-cawapres. Adapun slot pertama sudah diisi oleh Anies Rasyid Baswedan yang diusung Koalisi Perubahan untuk Persatuan.
Hal tersebutlah yang mendasari wacana koalisi besar antara Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), PAN, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kelima partai itu dinilai hanya ingin mengamankan kekuasaannya di pemerintahan selanjutnya.
"Dengan lima partai tersebut akan membangun koalisi besar, bisa jadi nanti hanya dua pasang capres. Tampaknya para elite partai tidak mau memanfaatkan coattail effect dari pemilu serentak, mereka lebih tergiur dengan kemenangan dan kekuasaan yang nanti mereka dapat," ujar Romli.