REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengusulkan dana bagi hasil perkebunan sawit sebesar Rp 1 miliar per daerah. Pada tahun ini pemerintah akan menyalurkan dana bagi hasil perkebunan sawit sebesar Rp 3,4 triliun dalam dua tahap, yakni pada Mei sebesar 50 persen dan Oktober sebesar 50 persen bagi 350 daerah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan dana bagi hasil perkebunan sawit sesuai UU anggaran pendapatan belanja negara 2023. Kemudian dibagi kepada daerah-daerah penghasil sawit dan daerah tetangga yang terkena dampak industri sawit.
“Kami juga mengusulkan diterapkannya batas minimun alokasi per daerah pada 2023, setiap daerah paling tidak mendapatkan Rp 1 miliar per daerah,” ujarnya saat rapat kerja bersama dengan Komisi XI DPR, Selasa (11/4/2023).
Sri Mulyani merinci daerah penghasil sawit merupakan daerah yang terdapat perkebunan sawit dan atau menghasilkan minyak kelapa sawit mentah, sementara provinsi penerima dana bagi hasil adalah yang wilayahnya terdapat daerah penghasil.
Dalam rancangan ini, terdapat 30 provinsi yang akan mendapatkan dana bagi hasil dengan kisaran bagi hasil sebesar Rp 1 miliar—Rp 82,1 miliar. Sebanyak 240 kabupaten/kota penghasil dengan rentang Rp 2,46 miliar—Rp 49,5 miliar.
Menurutnya sebanyak 80 kabupaten/kota berbatasan yang akan menerima bagi hasil dengan rentang Rp 1 miliar—Rp 14,8 miliar. Anggaran pendapatan belanja negara 2023, dana bagi hasil secara keseluruhan dialokasikan sebesar Rp 136,3 triliun.
Dia menjelaskan syarat penyaluran dana bagi hasil sawit yaitu rencana kegiatan tahap pertama dan laporan realisasi tahap kedua. Adapun sebanyak 350 daerah yang akan menerima dana bagi hasil sawit tahun ini terdiri dari daerah penghasil, daerah yang berbatasan dengan daerah penghasil, dan provinsi daerah penghasil, termasuk empat daerah otonomi baru di Papua.
Sumber dana penyaluran dana bagi hasil sawit yakni pungutan ekspor dan bea keluar sawit. Adapun besarnya porsi dana bagi hasil sawit diatur minimal empat persen dan disesuaikan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara.
Pembagiannya, provinsi akan mendapatkan 20 persen dari dana bagi hasil sawit, kabupaten/kota penghasil akan mendapatkan 60 persen, serta kabupaten/kota berbatasan sebesar 20 persen. Dana bagi hasil sawit minimal empat persen, proporsi provinsi sebesar 0,8 persen, kabupaten/kota penghasil 2,4 persen, serta kabupaten/kota berbatasan 0,8 persen.
"Pada 2022 sempat terjadi tidak adanya realisasi pungutan ekspor dan bea keluar sawit dalam beberapa bulan, sehingga sumber dana dana bagi hasil pun tidak ada. Maka demikian agar jumlah dana bagi hasil sawit yang diberikan tidak terlalu kecil daerah," ucapnya.
Menurutnya terdapat dua dasar perhitungan alokasi per daerah yakni luas lahan dan tingkat produktivitas lahan serta perubahan tingkat kemiskinan dan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan.