REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) menetapkan mantan direktur Utama (Dirut) Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar Haris Yasin Limpo (HYL) sebagai tersangka dugaan korupsi penggunaan dana PDAM 2017-2019. HYL ditetapkan tersangka bersama rekannya Irawan Abadi (IA) selaku mantan direktur Keuangan PDAM.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kejagung) Ketut Sumedana mengatakan, sejak Selasa (11/4/2023) tersangka HYL dan IA sudah ditahan di Lapas Klas-1 Makassar.
“Kasus tersebut terkait dengan tindak pidana korupsi penggunaan dana PDMA Kota Makassar untuk pembayaran tantiem dan bonus atau jasa produksi tahun 2017 sampai dengan tahun 2019, dan premi asuransi dwiguna jabatan walikota dan wakil walikota tahun 2016 sampai dengan tahun 2019,” kata Ketut dalam keterangan tertulis yang diterima Kamis (13/4/2023).
Tersangka HYL adalah adik dari Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang saat kasus dugaan korupsi PDAM ini terjadi, masih menjabat sebagai gubernur Sulsel periode 2008 sampai 2018. Kasi Penerangan Hukum Kejati Tinggi Sulsel Soetarmi mengatakan kasus yang menjerat HYL dan IA berawal dari dugaan penggunaan laba atau keutungan PDAM. Dugaan penggunaan laba dilakukan selama kedua tersangka itu menjabat di PDAM Kota Makassar 2015-2019 dan 2017-2019.
“Bahwa pada tahun tersebut kegiatan yang diusakan PDAM memperoleh laba, sedangkan akumulasi kerugian bukan menjadi tanggung jawab periode kepengurusan keduanya, melainkan dibebankan tanggung jawab ke direksi sebelumnya,” kata Soetarmi dalam siaran pers yang diterima wartawan di Jakarta, Kamis (13/4/2023).
Dari hal tersebut, dikatakan Soetarmi, kedua tersangka HYL dan IA merasa memiliki hak mendapatkan tantiem atau bagian dari keuntungan, serta bonus dari jasa. Termasuk produksi PDAM selama keduanya menjadi pengurus PDAM Kota Makassar.
Bagian keuntungan, dan bonus tersebut, HYL bersama-sama IA, keduanya ajukan sendiri dengan penggunaan catatan laba atau keuntungan. Namun ditemukan adanya pelanggaran hukum dalam pengambilan bagian dan bonus dari laba atau keuntungan PDAM tersebut.
“Bahwa terdapat perbedaan besaran penggunaan laba pada Perda No. 6 Tahun 1974 dengan PP 54 Tahun 2017 khususnya untuk pembagian tantiem untuk direksi sebesar lima persen, bonus pegawai sebesar 10 persen. Sedangkan pada PP 54 tahun 2017, pembagian tantiem dan bonus hanya lima persen. Sehingga aturan tersebut tidak dapat digunakan untuk pembayaran penggunaan laba,” tutur Soetarmi.
Dalam temuan lainnya, kata Soetarmi penyidik kejaksaan juga menemukan adanya penggunaan premi Asuransi Dwiguna dari kerja sama PDAM Kota Makassar dengan AJB Bumiputera. Premi asuransi tersebut diberikan HYL dan IA kepada wali kota dan wakil wali kota Makassar pada saat itu.
Padahal diketahui premi asuransi kerja sama antara PDAM Kota Makassar dengan AJB Bumiputera tersebut diperuntukkan seluruhnya untuk para pegawai Badan Usaha Milik Daerah (PDAM). “Sehingga pemberian asuran jabatan yang dilakukan tersangka HYL dan IA kepada walikota dan wakil kota tidak dibenarkan,” tegas Soetarmi.
Penyidik Kejati Sulsel mengungkapkan dari perbuatan yang dilakukan tersangka HYL dan IA merugikan negara senilai Rp 20,3 miliar. Atas perbuatan kedua tersangka itu, penyidik menjerat keduanya dengan sangkaan primer Pasal 2 ayat (1), juncto Pasal 18 UU 31/1999-20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana juncto Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana. Subsider Pasal 3 dan Pasal 18 UU Tipikor.