MEMAKNAI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh : Hasri Nisrina Zulfa
Pendahuluan
Sebagaimana kita telah ketahui bahwa Pancasila menjadi kesepakan bangsa Indonesia sebagai sesuatu yang mutlak. Karenanya, Pancasila diyakini sebagai dasar yang mampu dalam mempersatukan bangsa serta mampu mewujudkan nilai-nilai toleransi antar ummat beragama. Sebab, Pancasila merupakan falsafah bangsa dan dasar Negara Indonesia yang seharusnya menjadi dasar norma-norma bernegara dan bermasyarakat.
Akan tetapi, melihat kondisi bangsa saat ini sangatlah memprihatinkan karena dirasa belum mencerminkan nilai-nilai Pancasila serta mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Segala konflik yang terjadi pun sangatlah jauh bahkan tidak mencerminkan jati diri bangsa yang sebenarnya. Berbagai aspek kehidupan sosial dan budaya masyarakat yang terjadi pun tidak dapat terpisahkan dengan rumor yang mengandung perbedaan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). Hal ini tentunya dapat mengakibatkan hilangnya keutuhan serta persatuan wilayah Indonesia.
Maka sangatlah penting dalam penerapan nilai-nilai pancasila di tengah masyarat serta dipadukannya dengan ajaran-ajaran Agama di lembaga pendidikan kepada anak didik dan generasi bangsa untuk mempertahankan peradaban budaya Indonesia. Karena pada hakekatnya, tidak ada satu agamapun yang mengajarkan keburukan sikap dan tingkah laku kepada seluruh manusia.
Sepantasnya, Indonesia yang mayoritas muslim terbesar di dunia menjadi panutan bagi negara-negara lain dalam menjungjung tinggi nilai-nilai luhur yang sesuai dalam ajaran Islam. Hal ini terkandung dalam Al-Qur’an sebagai bukti bahwa Islam merupakan agama yang mengajarkan toleransi, tingkah laku serta tutur kata yang baik. Semua aspek kehidupan ini dijelaskan dalam Al-Qur’an, baik secara sosial, politik dan lain sebagainya. Hal ini pula menjadi bukti ketauladanan yang dimiliki Rasulullah untuk seluruh umat-Nya yang terkandung dalam Al-Qur’an agar mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, jelaslah bahwa Rasulullah menjadi contoh yang tidak dapat dipisahkan antara Al-Qur’an dan kepribadian yang dimiliki-Nya. Bahkan Rasulullah sendiri dianggap melekat sebagai Al-Qur’an berjalan, karena seluruh kepribadian yang dimiliki-Nya itu tercantum dalam Al-Qur’an.
Jika dikaitkan antara nilai-nilai Pancasila dengan ajaran yang dibawa islam sangatlah tidak jauh berbeda. Seperti yang telah kita ketahui, Pancasila merupakan aturan yang patut kita jalani. Segala bentuk aturan tertulis yang sudah disepakati masyarakat Indonesia sejak diputuskannya Pancasila dan UUD 1945. Dan makna yang terkandung didalamnya pun mengajak masyarakat dalam menjalankan perannya sebagai manusia dengan sebaik-baiknya.
Akan tetapi, akhir-akhir ini suara-suara untuk menegakkan syariat Islam secara keseluruhan kembali hadir. Seruan ini disertai dengan usaha-usaha untuk menyebarkan ideologi kekhilafahan Islam sebagai dasar negara untuk menggantikan Pancasila dan UUD 45. Beberapa oknum berpendapat terkait Pancasila dengan lambang burung Garudanya merupakan salah satu jenis kemusyrikan. Jelas pemikiran tersebut merupakan hasil pembacaan yang hanya fokus pada penamaannya saja, bukan karena semangat yang terkandung pada nama tersebut.
Karena sila kelima dalam Pancasila sendiri tidak ada nilai-nilai yang menjerumuskan kepada jenis kemusyrikan. Semuanya ini merupakan pesan-pesan yang berdasarkan dengan nilai universal Islam. Bagi kita yang sependapat dengan pemikiran al-Ghazali, as-Syatibi dan lain sebaginya dalam membandingkan semangat nilai yang terkandung pada Pancasila dan UUD 45 dengan nilai-nilai universal Islam lewat kacamata pemikiran mereka, pastinya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kedua dasar negara tersebut sesuai dengan tujuan syari’at.
Indentifikasi Masalah
1. Bagaimana memaknai nila-nilai Pancasila?
2. Bagaimana perspektif Islam dalam memaknai nilai-nilai Pancasila?
Pembahasan
Penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah sebagai persatuan semua belah pihak yang ada diseluruh Indonesia. Pancasila sendiri memiliki peranan yang penting mengenai keagamaan. Namun, hal yang tak kalah pentingnya untuk diketahui oleh umat Islam menurut Munawir Syadzali ialah dipilihnya Pancasila dan bukan Islam sebagai Ideologi negara tidaklah semata-mata dimaksudkan untuk memelihara kedamaian serta kerukunan, melainkan karena Al-Qur’an dan Hadits tidak secara gamblang mewajibkan orang Islam mendirikan negara Islam. Sehingga Pancasila bukanlah pandangan yang berdasarkan pada ajaran agama, melainkan menyatukan antara kehidupan agama dengan kehidupan sosial bermasyarakat. Bahkan, setiap sila dalam Pancasila sendiri memiliki arti yang sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. Berikut ini penjelasan memaknai nilai-nilai Pancasila dalam perspektif Islam, diantaranya :
Sila Pertama (Ke-Tuhanan Yang Maha Esa)
Sila pertama ini menjelaskan hubungan antara manusia dengan tuhan-Nya (hablum minallah). Dalam sila ini, kedudukan manusia ialah sebagai hamba dan Allah adalah tuhan-Nya. Hal ini sesuai dengan kandungan yang sejalan dengan ajaran tauhid dalam Islam yang memiliki tiga makna, yaitu dia-lah Yang Maha Esa pada zat-Nya, sifat-Nya dan pada afal-Nya. Maksudnya adalah Allah tidak tersusun dari beberapa bagian lain, tidak ada satupun makluk yang mampu menyamai sifat-Nya dan hanya Allah-lah yang mampu membuat semua perbuatan sesuai dengan perintah-Nya. Sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur’an surat al-Ikhlas ayat 1-4 yang berbunyi:
قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ
Artinya: "Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.”
Jelaslah bahwa dalam Islam umat manusia mengakui adanya satu Tuhan yang harus disembah dan diyakini keberadaannya. Begitu juga dengan Pancasila yang menyatakan bahwa ketuhanan itu satu, meskipun berbeda dalam memeluk setiap ajaran agamanya. Sebab, Allah sendiri tidak pernah memaksa hamba-Nya untuk menyembah kepada-Nya. Akan tetapi, kesadaran akan bertuhan merupakan fitrah yang dimiliki oleh setiap hamba-Nya. Selain itu, Islam memiliki toleransi dalam bertuhan seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, yaitu “Lakum dinukum waliadiin” yang bermakna untuk tidak memaksa orang lain dalam memeluk ajaran Islam. Fitrah yang ada dalam Islam sendiri hakekatnya ialah menyerahkan diri hanya kepada Allah. Fitrah ini menimbulkan ketenangan jiwa serta kedamaian bathin yang hanya diperoleh dengan menyembah dan meyakini keberadaan Allah.
Pada sila ini penerapan nilai-nilai Pancasila menjadi hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap ummat manusia. Karena pada dasarnya, bertuhan merupakan pondasi kita sebagai hamba dalam menjalani segala bentuk aspek kehidupan di dunia. Dan dalam menerapkan nilai-nilai ketuhanan pula perlu adanya keyakinan yang kita pilih dan konsisten dalam memercayainya. Oleh sebab itu, penerapan sila ini menjadi inti keseluruhan kita dalam menjalankan nilai-nilai Pancasila yang lainnya.
Sila Kedua (Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab)
Sila kedua ini menjelaskan hubungan antara manusia dengan sesamanya (hablum minannas). Sila kedua ini memiliki tiga makna kata kemanusiaan, yaitu kemanusiaan yang berhubungan dengan manusia itu sendiri, dengan penghargaan kedudukan yang dimilinya terbebas dari perbudakan serta dengan hati dan jiwa yang merasa bebas dari tekanan. Keadilan merupakan sikap yang diridhoi oleh Allah, karena hal tersebut merupakan tindakan yang berkaitan dengan ketaqwaan kepada Allah. Karena bentuk keadilan sendiri ialah nilai kemanusiaan yang bermakna tidak berat sebelah, jujur dan tidak berpihak pada siapapun (sama rata) serta menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya.
Dalam pandangan Islam, terdapat keterkaitan antara hukum dan juga keadilan. Sebab dibuatnya hukum untuk menegakkan suatu keadilan. Allah sendiri pemegang kedudukan hukum tertinggi melalui Al-Qur’an dan hadits. Dalam pancasila khususnya sila kedua ini, hakekatnya manusia adalah makhluk yang harus menjunjung tinggi nilai keadilan tersebut, walaupun nilai keadilan ini berlaku juga untuk seluruh makhluk Allah lainnya.
Dan kata beradab yang tercantum dalam sila kedua ini merupakan tingkah laku yang mencerminkan sopan santun berdasarkan keimanan kepada Allah SWT. Sila kedua ini juga menekankan betapa pentingnya tingkah laku manusia yang dilandasi dengan kelemahlembutan dan budi pekerti yang baik. Karena manusia sendiri diciptakan oleh Allah dengan sebaik mungkin. Manusia juga merupakan makhluk yang diciptakan oleh Allah yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk Allah lainnya. Oleh karena itu, sifat adil dan beradab ini harus dimiliki setiap manusia tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongannya. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin.
Sila Ketiga (Persatuan Indonesia)
Sila ketiga ini mencerminkan persaudaraan sesama manusia. Semua ummat manusia yang hidup di bumi Allah ini ialah satu kesatuan, tidak ada satupun perbedaan didalamnya. Karena pada dasarnya, tidak ada satupun perbedaan yang mampu diukur oleh kaca penglihatan manusia, baik dalam derajatnya ataupun kedudukannya dihadapan manusia lainnya. Karena hanya Allah-lah yang boleh mengukur sebagaimana tinggi rendahnya kita dihadapan-Nya. Hal ini hanya mampu dilihat sesuai tingkat ketaqwaan yang kita miliki. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat al-Imran : 103 dan 105 akan pentingnya persatuan, yaitu:
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءٗ فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦٓ إِخۡوَٰنٗا وَكُنتُمۡ عَلَىٰ شَفَا حُفۡرَةٖ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنۡهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُونَ
Artinya: “Berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-Imran: 103)
وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَٱخۡتَلَفُواْ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ
Artinya: “Janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.”(QS. Al-Imran:105)
Dalam makna sila ketiga ini, persatuan akan tercipta apabila kita menjalin sikap toleransi yang tinggi, saling menghargai dan menghormati sesama manusia. Selain itu, dalam persatuan perlu mengedepankan sifat persamaan bukan hanya pada perbedaan saja. Karena jika kita selalu mengedepankan perbedaan yang ada, itu hanya akan mendatangkan perpecahan serta perselisihan. Karena pada dasarnya, Allah menciptakan perbedaan pada makhluknya semata-mata untuk saling melengkapi satu sama lain. Persatuan yang perlu kita sama-sama ketahui ialah untuk terciptanya kemaslahatan dalam bernegara serta untuk mewujudkan suatu tujuan bersama.
Pancasila menjadikan kehidupan bernegara secara seimbang, serasi dan selaras dikarenakan perbedaan yang ada. Keanekaragaman yang terjadi karena perbedaan ini membawa kita pada sikap toleransi sesama manusia lainnya. Makna dari sila ini pun menguatkan bahwa Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh dan terdiri dari bagian-bagian yang saling menyatu. Dengan ada atau tanpa adanya perbedaan tersebut, itu tidak mengurangi makna Pancasila pada sila ketiga ini. Oleh karenanya, persatuan ini tercermin dalam semboyan nasional Indonesia, yaitu Bhineka Tunggal Ika yang memiliki makna meskipun terdiri dari berbagai suku, bangsa dan agama, tetapi tetap menjunjung tinggi nilai NKRI.
Sila Keempat (Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan)
Sila keempat ini menjelaskan betapa pentingnya aspek kehidupan yang dilandasi oleh musyawarah itu sejalan dengan nilai kebaikan dalam ajaran Islam. Musyawarah merupakan jalan yang tepat guna mendapat solusi dari suatu persoalan semua pihak yang memberikan pendapat. Hasil daripada musyawarah pun merupakan kesepakatan bersama yang harus dijalani dengan penuh penerimaan.
Konsep Islam terkait musyawarah dalam menyelesaikan suatu persoalan disebut dengan nama syuura (musyawarah). Konsep ini terkandung dalam Al-Qur’an surat al-Imran : 159 dan as-Syuu’ra : 38, yaitu:
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: “ Maka disebabkan Rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelililingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah menyukai norang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Al-Imran : 159)
وَٱلَّذِينَ ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan tuhsn-Nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. As-Syuu’ra)
Nilai yang terkandung dalam sila keempat ini menekankan bahwa kita tidak boleh memaksakan kehendak orang lain untuk sependapat dengan keputusan kita. Karena dengan bermusyawarah kita dapat mempererat hubungan persaudaraan kita dengan sesama dan merasa saling dihormati maupun dihargai dalam menyerukan suatu pendapat. Oleh karenanya, sudah seharusnya kita sebagai masyarakat Indonesia menerapkan nilai-nilai Pancasila pada sila keempat ini dalam kegiatan bermusyawarah, baik dilingkungan keluarga, sekolah maupun bermasyarakat.
Sila Kelima (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia)
Sila kelima ini mencerminkan nilai keadilan yang masih berhubungan dengan prinsip keadilan dalam sila kedua. Makna keadilan ini merupakan bentuk harapan dari sila-sila sebelumnya yang berarti setiap masyarakat Indonesia berhak mendapatkan perlakuan yang adil dalam segala aspek kehidupan. Hal ini meliputi baik dalam bidang sosial, hukum, budaya maupun yang lainnya.
Keadilan sosial merupakan tuntutan dalam memberikan jaminan kepada setiap masyarakatnya agar memperlakukan seluruh masyarakat secara adil agar tidak ada golongan kuat yang menindas golongan lemah dan tidak ada satupun golongan yang menguasai kekayaan negara untuk kepentingan pribadi sekalipun. Karena pada dasarnya, negara sendiri bertanggung jawab atas kemakmuran rakyatnya.
Pada dasarnya, keadilan merupakan bentuk hal yang berhak dimiliki oleh setiap masyarakat Indonesia. Dengan keadilan, maka seluruh masyarakat Indonesia akan mendapatkan ketentraman dalam kehidupannya masing-masing. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dalam surat an-Nisa : 58, al-Maidah : 8 dan al-A’raf : 29, yaitu:
۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا
Artinya: “ Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. an-Nisa : 58)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَ َٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Maidah : 8)
قُلۡ أَمَرَ رَبِّي بِٱلۡقِسۡطِۖ وَأَقِيمُواْ وُجُوهَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٖ وَٱدۡعُوهُ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَۚ كَمَا بَدَأَكُمۡ تَعُودُونَ
Artinya: “Katakanlah, “Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) pada setiap salat, dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya. Kamu akan dikembalikan kepada-Nya sebagaimana kamu diciptakan semula.” (QS. al-A’raf : 29)
Dari penjelasan ayat diatas dapat simpulkan bahwa dalam Al-Qur’an sendiri Allah menjunjung tinggi nilai keadilan. Karena hal tersebut merupakan bentuk amal yang dekat dengan ketakwaan kepada Allah. Oleh karena itu, penerapan nilai-nilai Pancasila dalam sila kelima ini perlu dijalankan sesuai anjuran yang telah tercantum dalam Al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat.
Penutup
Pancasila merupakan nilai-nilai luhur yang tertulis sebagai suatu tatanan hidup bermasyarakat dan bernegara, khusunya kita sebagai warga negara Indonesia yang tinggal didalamnya. Pancasila mengandung nilai-nilai ke-Tuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan yang menjadi nilai luhur dalam pengamalannya. Penerapan serta semangat yang terkandung didalamnya pun memiliki kesamaan dalam penerapan nilai-nilai yang dibawa oleh ajaran Islam. Dalam konsep ini Pancasila dan Islam merupakan dua hal yang berbeda, namun saling berkaitan. Islam sendiri adalah agama sedangkan Pancasila adalah ideologi negara. Hal ini mengantarkan kita pada pemahaman bahwa perumusan ide pada Pancasila semestinya diiringi dengan konsep serta nilai-nilai yang ada pada Islam. Tegasnya, ini akan membawa kita pada pemikiran bahwa nilai-nilai Pancasila dapat disesuaikan dengan nilai-nilai islam tanpa harus menjadikan Indonesia sebagai negara Islam yang utuh. Akan tetapi, pemikiran ini menganjurkan kita untuk memahami bahwa nilai-nilai islam dapat tumbuh serta berkembang disuatu negara yang tidak menegaskan sebagai suatu negara yang berhubungan pada Islam.
Referensi :
Dr. Erni Budiawanti, Islam Sasak, hlm.70.
Dr. Erni Budiawanti, Islam Sasak, hlm.72.
Prof. Dr. Abu Su’ud, Islamologi; Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003, hlm.141.
Nurcholis Majid. Islam, Doktrin Dan Peradaban, hlm. 6.
Nurcholis Majid. Islam, Doktrin Dan Peradaban, hlm. 8.
Nurcholis Majid. Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan (Bandung:Mizan, 1984), hlm. 127.
Ahmad Husaini. Pancasila bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (Jakarta:Gema Insani, 2009), hlm. 216.
Agus Santoso, Hukum, Moral Dan Keadilan (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2015), hlm. 92.
Kaelan, Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa (Yogyakarta:Paradigma, 2009), hlm. 51.
(Daman, 1992: 103).
(Bakry, 1987: 50).