REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Metode sederhana berupa aktivitas kontak antar-kulit atau dikenal dengan sebutan effect of kangaroo dipercaya efektif untuk mengatasi gejala hipotermia atau penurunan suhu tubuh secara drastis pada anak-anak yang bisa disebabkan oleh paparan cuaca ekstrem akibat perubahan iklim.
"Seperti halnya anak kanguru yang menempel pada tubuh sang induk, metode ini bisa meningkatkan suhu tubuh dan menurunkan risiko hipotermia sehingga anak-anak terhindar dari kematian," ungkap Ketua Satuan Tugas Bencana Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Kurniawan Taufiq Kadafi, M. Biomed., Sp.A(K), saat sesi diskusi virtual di Jakarta.
Dalam diskusi mengenai perubahan iklim dan dampaknya terhadap kesehatan anak-anak, Taufiq menjelaskan bahwa suhu bumi dan kejadian cuaca ekstrem menjadi permasalahan yang mengakibatkan anak-anak rentan terhadap dampak langsung perubahan iklim.
Suhu bumi yang ekstrem tersebut mencakup suhu panas dan dingin, sedangkan kejadian cuaca ekstrem meliputi kekeringan, kebakaran hutan, badai dan banjir, serta presipitasi atau proses jatuhnya segala materi yang dicurahkan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam bentuk hujan.
"Anak-anak menghirup lebih banyak udara dan bahan berbahaya yang terkandung di dalamnya. Ini sangat berbahaya kalau terjadi kebakaran hutan. Mereka juga banyak bermain di luar rumah, sehingga bila terjadi cuaca ekstrem maka risikonya mudah dehidrasi atau bisa kematian kalau terlalu panas atau dingin," imbuhnya.
Dari aspek anatomi, tumbuh kembang, fisiologis dan psikologis, lanjut Taufiq, anak-anak tidak cukup cakap untuk menghindari kondisi kegawatdaruratan akibat cuaca ekstrem. Dampaknya semisal saat banjir bandang, kata Taufiq, maka anak-anak lebih sulit menyelamatkan diri ketimbang orang dewasa.
Selain itu, anak-anak juga memiliki risiko dehidrasi besar sehingga ketika ada banjir dan wabah diare maka mereka rentan menjadi korban dan mesti dilarikan ke rumah sakit. Sementara dari sisi psikologis juga terdapat ancaman bagi anak-anak terkait aktivitas perubahan iklim.
"Secara psikologis, terkadang anak-anak ingin tahu terhadap hal yang menantang. Maka ketika hujan lebat, mereka akan banyak bermain di situ sehingga bisa terseret oleh arus air hujan yang sangat ekstrem," tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI Piprim Basarah Yanuarso menambahkan bahwa secara global bumi memang mengalami banyak perubahan, semisal tempat yang tadinya gersang kini menjadi hijau, atau tempat yang panas berubah menjadi dingin.
Aneka perubahan iklim dengan berbagai macam dampaknya itu bisa berpengaruh terhadap kelompok rentan di antaranya anak-anak, khususnya balita. Meski rentan, balita lebih banyak beraktivitas di dalam rumah.
"Sedangkan anak-anak usia di atas itu lebih banyak beraktivitas di luar rumah karena itu kalau ada perubahan cuaca mereka bisa terpapar. Pada prinsipnya anak-anak adalah kelompok rentan yang harus dilindungi. Jangan sampai perubahan ini menghalangi perkembangan dan pertumbuhan mereka," tegasnya.