REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pembina Yayasan Universitas Krisnadwipayana (Unkris) sekaligus Guru Besar Unkris, Prof Gayus Lumbuun menyatakan, sebagai negara dengan masyarakat yang multikultural, tradisi halal bihalal di Indonesia memiliki peran strategis untuk mengurai kekusutan, kekeruhan, dan kesalahpahaman yang selama ini terjadi di tengah masyarakat. Dengan halal bihalal, maka hal-hal yang memutus tali silaturahmi dapat dihalalkan (aman) kembali.
“Dalam makna yang lebih luas, halal bihalal dapat diartikan sebagai suatu semangat persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia sebagai negara yang multikultural atau masyarakat majemuk dan pluralisme dengan penuh keragaman, nilai budaya, ras, etnis, bahasa, dan sejarah yang terpadu menjadi satu sebagai kebiasaan di daerah setempat yang tersebar di seluruh wilayah NKRI,” ujar Prof Gayus saat memberi sambutan acara halal bihalal bertema Silaturahmi Menguatkan Keluarga Besar Unkris, seperti dalam keterangan tertulisnya, Selasa (5/4/2023).
Prof Gayus memaparkan bahwa halal bihalal dalam sejarah masyarakat Indonesia mulai dikenal sekitar tahun 1948 atau tiga tahun setelah Indonesia merdeka. Tradisi yang dipelopori Presiden RI pertama Soekarno tersebut terus berkembang hingga saat ini bahkan kemudian diiringi dengan ajang open house, yakni mengundang orang untuk berkunjung ke rumah guna mempererat silaturahmi,” jelas dia.
Dalam versi lain, sejarah halal bihalal diperkenalkan oleh KH Wahab, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) kepada Bung Karno sebagai bentuk silaturahmi antarpemimpin politik yang saat itu masih memiliki konflik. “Atas saran dari KH Wahab, lantas Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik ke istana untuk menghadiri silaturahmi dengan istilah halal bihalal, di mana para tokoh politik pada akhirnya harus duduk satu meja,” tambahnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 menyebut Indonesia memiliki 1.340 suku dan tercatat suku Jawa adalah kelompok terbesar dengan 41 persen total populasi. Menurut Prof Gayus, masyarakat Indonesia yang majemuk merupakan aspek yang harus dikelola dengan tepat agar dapat menjadi sebuah kekuatan yang besar untuk menghindari gesekan atau benturan dengan meminimalisasi kesenjangan sebagai kerawanan sosial. "Oleh karena itu, membentuk dan memelihara persatuan Indonesia yang beragam ini merupakan kewajiban seluruh masyarakat terutama masyarakat kampus sebagai pencetak para calon intelektual bangsa di masa depan."
Prof Gayus menganalogikan keragaman masyarakat Indonesia sebagaimana menu makanan kolak. Menu yang menjadi hidangan masyarakat utamanya saat berbuka puasa tersebut memiliki bahan dasar beraneka macam mulai dari pisang, singkong, ubi, gula, buah atep, hingga santan. Masing-masing bahan baku tersebut saling melengkapi untuk menjadi menu masakan kolak yang manis dan lezat.
“Walaupun terdiri dari berbagai macam bahan, tetapi disebut kolak ketika kesatuan itu terwujud. Mungkin saja ada orang yang lebih menyukai singkong, atau ada yang lebih menyukai pisang, hal itu adalah sah untuk menjadi seleranya. Itu juga yang seharusnya kita lakukan sebagai bangsa Indonesia,” kata Prof BGayus menjelaskan.
Lebih lanjut, Prof Gayus mengingatkan bahwa Unkris sebagai kampus yang telah memiliki reputasi dan prestasi baik di tengah-tengah masyarakat yang semakin berkembang dengan dinamis dengan jumlah mahasiswa pencari ilmu dan bakat sekitar 10.000 mahasiswa dan sekitar 400 dosen/karyawan, harus dapat memenuhi tujuan untuk menyelesaikan kewajibannya sebagai masyarakat ilmuwan dalam menjaga dan mempertahankan NKRI.
Unkris menggelar acara halal bihalal di Kampus Unkris pada Selasa (2/5/2023). Kegiatan halal bihalal bertema Silaturahmi Menguatkan Keluarga Besar Unkris tersebut dihadiri Ketua Pembina Yayasan Unkris Prof Gayus Lumbuun, Ketua Yayasan Unkris Amir Karyatin SH beserta jajarannya, Rektor Unkris Dr Ir Ayub Muktiono, seluruh wakil rektor, para ketua lembaga, para dekan dan dosen, serta tenaga kependidikan dari empat fakultas.
Halal bihalal juga diisi dengan siraman rohani yang disampaikan oleh dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dr M. Ahmad Murodi MA. Ayat suci Al Qur’an dibacakan oleh Ustadz Sulaiman dengan saritilawah Sintya Agustine.
Sementara itu Rektor Unkris Dr Ayub Muktiono dalam sambutannya menyampaikan dua makna utama dari Ramadhan, Idul Ftri, dan halal bihalal. Pertama bahwa manusia wajib menghargai setiap perbedaan. Sebab sejatinya Allah telah menciptakan manusia dengan keberagaman, baik warna kulit, rambut, bahasa, suku, spesies, dan lainnya. “Kita wajib untuk menghormati dan menghargai keberagaman yang telah Allah ciptakan,” kata dia.
Kedua, kata Dr Ayub, manusia wajib menjunjung tinggi dan merawat kearifan lokal, warisan leluhur. Menurut dia, halal bihalal merupakan kearifan lokal warisan leluhur bangsa Indonesia. “Nilai yang bisa kita petik dari halal bihalal adalah mempererat silaturahmi di antara kita. Semua agama juga mengajarkan pentingnya silaturahmi ini,” katanya.
Silaturahmi, lanjut Rektor Unkris itu, tidak hanya mempererat tali persaudaraan, tetapi juga menyehatkan, memberikan berkah dan membawa nilai-nilai positif dalam kehidupan bermasyarakat. Silaturahmi sekaligus menjadi bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa di mana setiap mahluk harus hidup saling tolong menolong, bantu membantu, dan saling menghargai.
Sebagai upaya merawat warisan leluhur, sambung Dr Ayub, Unkris berupaya terus melanjutkan tradisi halal bihalal Idul Fitri. "Ini adalah salah satu cara yang ditempuh Unkris untuk menghargai dan menghormati para leluhur pendiri Unkris."
Kegiatan halal bihalal yang bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2023 tersebut juga diwarnai dengan mengheningkan cipta bagi enam tokoh pendidikan Indonesia, yakni Ki Hadjar Dewantara, Raden Ajeng Kartini, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim As’ari, Dewi Sartika, dan Rohana Kudus.