Jumat 05 May 2023 13:24 WIB

Dedolarisasi, Celios: Risiko Fluktuasi Nilai Tukar akan Terkendali

LCS membuat transaksi ekspor dan impor semakin efisien

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Lida Puspaningtyas
Petugas menunjukkan uang dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Kamis (29/9/2022). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat pada penutupan perdagangan Kamis (29/9/2022) sebesar 4 poin atau 0,03 persen ke level Rp15.262,50 per dolar AS. Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Petugas menunjukkan uang dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Kamis (29/9/2022). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat pada penutupan perdagangan Kamis (29/9/2022) sebesar 4 poin atau 0,03 persen ke level Rp15.262,50 per dolar AS. Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya Indonesia dan sejumlah negara lainnya untuk mengurangi ketergantungan terhadap mata uang dolar AS dinilai tepat. Langkah dedolarisasi itu disebut dapat meningkat efisiensi dalam transaksi perdagangan internasional sekaligus menekan risiko fluktuasi nilai tukar.

Salah satu manfaat dedolirasasi yaitu dapat membuat transaksi ekspor dan impor semakin efisien. Indonesia dan beberapa negara di kawasan Asia telah sepakat untuk bertransaksi menggunakan mata uang lokal atau Local Currency Settlement (LCS).

Baca Juga

"Selama ini kalau ada transaksi perdagangan internasional harus dikonversi dulu ke dolar AS sehingga membuat devisa hasil ekspor tidak maksimal. Selain itu ada terlalu banyak selisih kurs dan biaya administrasi yang ditanggung," kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, Jumat (5/5/2023).

Dengan sistem LCS, menurut Bhima, transaksi dapat dilakukan langsung menggunakan mata uang lokal masing-masing negara yang terlibat perdagangan. Penggunaan LCS ini akan menguntungkan importir maupun eksportir karena tidak hanya bergantung pada dolar AS.

"Itu pun membuat risiko fluktuasi nilai tukar menjadi lebih terkendali bagi sisi pengusaha terutama yang terlibat dalam perdagangan internasional," terang Bhima.

Di sisi lain, Bhima melihat, langkah dedolarisasi masih menghadapi sejumlah tantangan. Bhima menilai likuiditas perbankan terutama ketersediaan valuta asing (valas) selain dolar AS masih sangat terbatas. Menururt Bhima, pasar valas Indonesia saat ini masih terbilang dangkal.

Tantangan lainnya, lanjut Bhima, rantai pasok atau ekosistem ekspor impor sejauh ini masih belum bisa mengakomodasi penerapan LCS. Apalagi sebagian besar jasa pelayaran di sektor perdagangan internasional hanya mau dibayar menggunakan mata uang dolar AS.

Selain itu, menurut Bhima, pemerintah perlu memberikan insentif kepada pelaku usaha perdagangan internasional untuk meningkatkan kinerja ekspor dan impor. Hal ini jiga sebagai upaya untuk meningkatkan transaksi LCS.

Dari kerja sama antara Thailand dan Indonesia, Bhima mengatakan, baru hanya empat persen saja yang menggunakan LCS. "Untuk itu, seharusnya pemerintah masing-masing negara yang bekerja sama memberikan insentif baik pajak maupun nonpajak," ujar Bhima.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement